Posted in Novel, Orifict, Romance

Sneak Peek RINDANG

Hati itu seperti daun, bisa jatuh kapan saja, dimana saja.

PROLOG

Lembar surat itu berwarna biru, sedikit menguning karena usia. Pada lipatan-lipatan yang tidak dapat kembali diluruskan, dengan noda pudar di pojokan, Rindang dapat membacanya. Dengan perlahan. Dengan napas sedikit tertahan.

Kita bertemu di satu pagi. Dan bukannya aku langsung jatuh cinta seperti romansa yang dielukan kebanyakan orang. Hanya belum. Hanya sebatas suka, awalnya.

Kemudian, aku melihatmu bukan hanya di pagi-pagi itu, saat matahari sedang menyapa dan kamu seperti kembarannya. Atau siang. Atau sore. Aku melihatmu setiap malamnya. Di kepalaku, tepatnya.

Aku melihatmu berjalan, lalu seperti ada angin yang berembus. Aku melihatmu tersenyum, kemudian seperti ada ribuan kupu-kupu di sekitar. Aku melihatmu tertawa, siapa yang sedang menabur bunga? Aku melihatmu, dari kejauhan, dan rasanya cukup.

Saat itu aku sadar, aku telah jatuh cinta.

Boleh, aku melakukannya? Menyelipkan nama kamu dalam hati dan di sela doa-doa?

Meskipun kamu tidak tahu. Meskipun kamu mungkin tidak akan pernah tahu.

***

Berjalan melewati jalanan berbebatuan timbul, York masih sama seperti pertama kali Rindang melihatnya, kalau tidak lebih menakjubkan.

Kafe itu mengingatkannya pada desa-desa di Inggris. Dari plang nama kayu seukuran paha orang dewasa yang tergantung di sisi pintu bertuliskan York. Dengan meja-meja bulat dan kursi-kursi  kayu di bagian terasnya, dikelilingi tanaman hijau dalam pot-pot dan bohlam-bohlam putih yang bergelantungan di atasnya, membentuk satu estetik. Ketika ia mendorong pintu, ada lonceng yang berdentang. Suasana di dalam kafe masih seperti taman, dengan dinding bata putih kemerahan, rak-rak kayu kecil bersusun serampangan namun berpola di sepanjangnya, berisi beberapa figura foto, buku-buku, dan tanaman-tanaman hias kecil. Jendelanya dicat putih, ada cukup banyyak sehingga memberikan cukup sinar matahari ke dalam ruangan. Atapnya tinggi dan pada dinding bagian atas yang seharusnya kosong, menjulur tanaman hijau merambat dalam jumlah yang pas, sama seperti di depan kafe tadi.

York, dengan dominasi warna alamnya, memberikan kesan yang sejuk di tengah udara Jakarta yang sesak.

 

***

 “Boss is already waiting.” Ia menghadap Rindang. “Let me bring you to him.

Di bagian belakang kafe, melewati meja bar, pada ruang kosong menuju dapur ada tangga kayu yang membawa mereka ke lantai dua. Terlihat beberapa ruangan di sana, berhadap-hadapan. Pintu-pintu berpelitur cokelat bertuliskan Staithes, Middleham, Saltaire … nama-nama yang agak familiar. Seperti … nama-nama desa di Inggris. Desa di daerah York, mungkin. Mbak Fany membawanya ke ruangan paling pojok, tepat di ujung lorong. Ruangan dengan nama Leeds.

Ada banyak hal di kepala Rindang ketika ia membuka pintu. Ekspektasinya tentang bos yang galak. Pria berumur dengan kumis mirip Pak Raden. Atau om-om bule berambut pirang dan kulit pink. Ia telah mempersiapkan diri untuk menghadapinya. Namun ketika pintu itu bergulir terbuka, ketika mendapati apa─siapa yang berada di depannya, Rindang justru merasa seperti masuk tanpa persiapan apa-apa. Melihat laki-laki itu, ia merasa seakan dilempar ke masa lalu.

Delapan atau sembilan tahun lalu. Ia masih mengenakan seragam kaus kuning-hitam waktu itu. Rambutnya yang sedikit lebih panjang hingga menyentuh pundak dikuncir tinggi ke belakang guna menghindarkan lehernya dari kegerahan. Siang itu panas dan pelajaran olahraga barusaja selesai. Rindang, dengan teh instan di dalam plastik yang ia minum sambil berjalan, bermaksud kembali ke kelas. Dari kejauhan ia melihat Ursa duduk di depan XI IPA 2 dengan seragam putih abu-abu. Setelah seminggu absen, gadis itu akhirnya masuk. Ia mendapat toleransi untuk tidak mengikuti kegiatan olahraga karena penyakit tulangnya. Rambutnya masih sama seperti sekarang, hanya saja hitam, tidak biru. Sementara Sashi duduk di sampingnya, bermonolog tentang cowoknya yang barusaja mengirimi banyak cokelat. Bagaimana Rindang tahu? Karena, bahkan dari jarak sejauh ini bisa kedengeran dengan jelas bahan gibahnya. Seberisik itu seorang Sashi Kirana.

Lalu, mata Rindang membelalak terbuka. Ia tadi ke kantin untuk membelikan teman-temannya itu gorengan dan minuman. Lalu ia melihat es teh dan meninggalkan gorengannya begitu saja. Mampus!

Cepat-cepat, Rindang berputar di tumitnya. Penyakit pikunnya ini kadang keterlaluan. Seperti tadi pagi, ia hampir berangkat sekolah tanpa memakai sepatu, belari-lari dengan sendal jepit memboyong sepeda hingga ke depan rumahnya. Sekarang, ia melupakan barang sepenting makanan. Kalau ada yang mengambil, kan rugi!

Saat Rindang sibuk mencoba mempercepat langkah, seseorang menarik kunciran rambutnya hingga lepas. Rambutnya terurai ke wajah.

“Rendang!”

Rindang berbalik, membuatnya berhadapan dengan orang paling menyebalkan di dunia ini. Serius. Cicak saja ada gunanya, cowok ini tidak.

“Apaan, sih!”

Rindang mencoba menarik kembali karet rambutnya, yang dijunjung laki-laki itu tinggi-tinggi. Lehernya sudah sangat gerah dan dalam hitungan singkat, hatinya ikut gerah.

“Rendang mau kemana, sih, buru-buru banget?”

Bisa nggak, sih, berhenti manggil gue Rendang?! Tapi Rindang tidak menyuarakannya lagi. Ia sudah capek. Cowok itu tidak pernah mendengarkannya. Dan semua anak, semuanya, pasti tertawa mendengar panggilan itu, lalu ikut-ikut memanggilnya dengan nama makanan. Mereka tidak tahu saja betapa Rindang tidak suka. Mereka bukan teman-temannya.

“Kembaliin!” ia berjinjit, mencoba menjangkau karet rambutnya kembali. Sialannya, laki-laki ini pasti camilannya tiang basket sampai bisa setinggi itu.

“Mau gue kembaliin? Jawab dulu nih, pertanyaan gue.”

Capek berjinjit dan tidak mau membuang lebih banyak tenaga, Rindang mengerutkan alis, menunggu.

“Rendang-rendang apa yang asem banget?”

Rindang meniup poni di jidatnya. Muka sok ganteng lo asem! Apa fungsinya anak dajjal ini di dunia, sih? Selain memboroskan oksigen dan membuat kesal orang lain? Mana huruf R-nya dijelas-jelaskan waktu menyebut Rendang. Tapi Rindang tidak ingin menanggapi, Samud bisa ngelunjak.

“Rendangman kaus kaki seminggu nggak dicuci! Hahaha oke, becanda.”

Cowok itu berdeham, mengembalikan suaranya yang agak lebih berat dari kebanyakan anak SMA lainnya. “Lo, kan, mau ikut Olimpiade Kimia. Coba jawab, Tembaga sama Telurium kalo jadi senyawa, namanya apa?”

Dia bercanda lagi, ya? Dia kan anak IPS. Tidak ada urusannya dengan senyawa kimia.

“Telorkh ceplok!” ujar Rindang kesal sambil  melangkah menyerong untuk dapat melewati laki-laki itu. Ia mengikat rambutnya dengan tangan, berniat membeli gado-gado nanti biar karetnya bisa dipakai buat mengikat rambut.

“Enak, tuh! Mau dong dibikinin satu ya, buat besok sarapan. Dibikin kayak bento gitu, nasinya bentuk hati boleh juga. Mau ya, Rendang? Bikinin gue teloRKH ceplok.” R berkarat yang ia tirukan jelas sekali sampai-sampai Rindang yakin ia ngilu mendengarnya.

Bahkan saat Rindang berjalan, Samud masih mengekor di belakangnya dengan cengiran tidak jelas itu. Kurang kerjaan sekali. Maka di langkah ke lima, Rindang berbalik, menatapnya tajam. “Boleh. Tapi telornya gue ceplokin langsung ke muka lo, ya!”

Namanya Samudera, panggil saja Samud. Dan Rindang berharap bisa menenggelamkannya seperti kaum Nabi Luth yang homo itu.

Dan sekarang orang itu duduk di hadapannya.

Ya, tepat di hadapannya. Duduk dengan tenang di balik meja mahogani itu.

Samudera Abadi. Samud. Mimpi buruknya.

Dalam sepersekian detik kebingungannya, Rindang membanting pintu di depan hidungnya sendiri. Menutupnya kembali.

Ia sudah bersiap untuk melangkah kabur saat merasakan tepukan Mbak Fany di pundaknya.

What’s wrong? Here’s Mr. Samudera’s room.

Dengan lemas, Rindang pun menurut masuk. Fany bercakap-cakap dengan Samudera sebentar dan dalam kesempatan itu Rindang pergunakan untuk mengamati. Bukan ruangannya, tapi … sosok itu.

Samudera tidak banyak berubah. Hanya terlihat lebih tinggi ketika ia berdiri, dengan pundak lebih lebar (pasti karena jasnya!), lebih rapi dan lebih tua. Dan dalam jangka waktu delapan tahun, Rindang masih mengenalinya, hanya karena ia terlalu menyebalkan sehingga tidak mungkin Rindang melupakannya. Kali ini, ia tidak mengharapkan timbal balik.

Sejak SMA, Samudera memiliki banyak sekali teman, dapat bicara dengan banyak sekali orang, tidak mungkin Si Bully ini masih mengenal Rindang.

Ya, pasti begitu. Calm down, Lin.

“Rindang Dawen Kaayat,” sapaan itu menarik kembali Rindang ke dunia nyata. Ia menoleh ke sekeliling, menemukan tidak ada lagi keberadaan Mbak Fany. Wanita itu menghilang seperti ninja.

“Y-ya?”

Have a seat.”

Samudera kembali duduk di kursi empuk beroda miliknya, memeriksa dokumen Rindang di tangan, dari kelengkapan surat lamaran, hasil tes tertulis, lisan dan tulisan. Rindang pun mengambil tempat duduk di seberang pria itu, dipisahkan oleh satu meja persegi panjang dari kayu mahogani.

You have a unique name,” mulainya. Rindang tidak tahu harus menjawab apa, jadi ia hanya tersenyum canggung. “Kamu punya hasil test yang memuaskan, background oke dan beberapa pengalaman kerja,” gumamnya lagi seraya memandangi resume  milik Rindang.

Rindang mengangguk, menatap laki-laki itu sekilas lalu kembali meneliti serat-serat kayu di meja di hadapannya.

So, tell me. What makes you want to work here?”

I need a job,” jawabnya tanpa sempat memikirkan konsekuensi jawabannya. Ya semua orang juga butuh kerja, butuh duit, Jenab! Buru-buru, Rindang tergagap berusaha menambahkan. “I mean, I love this concept! You know, an English course in a cafe. With a garden concept. Thats just brilliant! I love plants and greens, too. It feels like really me.

Like your name?” Samudera menatapnya.

Satu detik kebingungan, sebelum Rindang menjawab. “Like my name.”

Ada jeda selama sekian detik. Samudera menahan tatapannya, kemudian dengan perlahan, mengangguk. “Fany akan ngasih kamu kontraknya, hak dan kewajiban ada di sana. Kalau kamu setuju, kamu tanda tangan dan bisa mulai masuk besok.”

Sebentar! Rindang mengerjap.

“Maksudnya, saya … diterima?”

Dengan senyum yang nyaris seperti senyum geli, laki-laki itu mengendikkan bahu. “Yeah. Welcome to York!”

Mereka bersalaman kemudian. Rindang pamit untuk menemui Mbak Fany selaku manajer, namun sebelum langkahnya mencapai pintu, ia harus dibuat beku oleh panggilan bos barunya itu.

“Rendang.”

Langkah Rindang terhenti. Napasnya terhenti. Jantungnya nyaris ikut terhenti. Ia berbalik untuk memastikan. Samudera tersenyum di sana. Senyum yang menimbulkan rasa-rasa ingin menonjok yang familiar.

“Cuma ada satu cewek bernama Rindang dengan nama panggilan Rendang di dunia ini, isn’t it? Nice to meet you again, Rendang.

Congratulation on your new job, Rindang. Welcome to hell York!

 

***

“Yuk pulang?”

Rindang menatap telapak tangan yang diulurkan padanya. Lalu sedikit menengadah. Pada Samudera. Pada dahinya yang tidak ditutupi apa-apa selain butir-butir keringat. Pada senyum tipis di bibirnya. Pada keringat yang sama yang membuat kulit cowok itu sedikit mengilap dari leher hingga perpotongan kerah kemejanya. Lalu tatapannya jatuh kembali pada telapak tangan itu.

“Masih takut rabies?” tanya Samud lagi. “Lebih takut rabies atau lebih takut jadi anak hilang?”

Jawabannya adalah sebuah gelengan pelan. Dengan mata yang lebih memilih menatap ujung sepatu cowok itu dibanding matanya, Rindang mulai mengulurkan tangan menggapai tangan Samudera.

“Pegangannya di telunjuk aja, tapi.”

‘Cause my darling, you and I could take over the world

And one step at a time, just you and I (just you and I)

‘Cause you’re the only one, who brings light just like the sun

One step at a time, just you and I (just you and I)

Tom Walker mengawali langkah mereka dari toko musik yang keduanya lewati. Dengan langkah yang beriringan dan jemari yang bertaut, meski hanya jari telunjuk. Mungkin besok ia akan menyesal, tapi khusus saat itu, menit ini, telunjuk Samudera yang dingin dalam genggaman telapak tangan Rindang yang selalu hangat rasanya tidak terlalu buruk. Rasanya tidak seburuk itu.

 

***

Ini kisah tentang dua orang, yang nggak mungkin bersama. Nama dan tempat sengaja disamarkan untuk menghargai privasi mereka. Ini kisah tentang cinta yang tulus, namun terlarang di sebuah kafe Y**k, di kota J*****a Selatan. Sebut saja namanya Dana, dan Samudera. Ya, dua-duanya cowok.

1,25 likes, 1,31 retweets.

(show the thread)

Samudera adalah cowok yang lemah gemulai. Dan cantik jelita. Dia mengagumi Dana, karyawannya sendiri sejak lama. Setiap melihat cowok tinggi dan berisi itu, ia tersipu malu, kemudian menyembunyikan tubuh mungilnya di balik dinding.

Dana, adalah cowok tinggi dan berisi, gagah dan suka bercanda. Ia ramah pada semua orang, termasuk Samudera. Meskipun diam-diam, ia mengagumi cowok itu tanpa seorang pun yang tahu.

Mereka tahu perasaan yang mereka punya terlarang adanya. Karena itu, mereka tidak bisa mengungkapkan. Hanya lewat surat yang diselipkan di bawah meja bar. Atau notes ucapan selamat pagi yang ditempelkan di gelas Cappucino. Setiap pandang mereka bertemu, mereka akan saling tersipu lalu bertukar senyum. Kemudian mencoba agar karyawan lainnya tidak tahu.

Lalu pada suatu hari, mereka hanya tinggal berdua di kafe, yang lain belum datang karena pagi-pagi sekali. Samudera sedang mengunyah apel di dekat meja bar yang sepi ketika Dana muncul di belakangnya. Ia menarik pinggang Samudera sehingga wajah Samudera memerah.

“Lepaskan, Mas!” Samudera memalingkan wajah. “Bagaimana kalau yang lain lihat?”

“Enggak papa, Adinda,” rayu Dana. “Aku kangen kamu.”

“Tapi nggak di sini, Mas. Hiks.”

Samudera memberontak, tapi lengan kokoh Dana menahannya di tempat. Lalu, Dana mendekatkan mukanya sampai jarak mereka hanya sekian senti. Bibir Dana menyentuh apel yang sedang di gigit Samudera dan

“Dana!”

Semua orang menoleh ke arah tangga, literally. Samudera dengan kemeja kotak-kotak lengan panjang yang digulung sampai siku terlihat menuruni undakan dalam langkah yang santai. Kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana.

Dana menoleh, kemudian senyumnya rekah. “Ya, Adinda Boss?”

Sebenarnya, wajar Dana menyebut cowoker lainnya maupun boss sebagai adinda dengan nada main-main, mengingat usianya yang paling senior. Namun mengingat kontorversi saat ini, ia hanya sedang menyiramkan bensin ke dalam kobaran api.

Dana berjalan menghampiri Samudera yang berdiri di ujung tangga. Tanpa menyadari bahwa napas semua orang di kafe tengah tercekat sekarang. Utamanya, ketika dua cowok itu berdiri berhadap-hadapan.

“Urusan kita belum kelar di atas, main turun aja,” ujar Samud.

“Oh my god!!!” Anak-anak SMA, Alma dkk membekap mulut, terpana. Entah apa yang ada di pikiran mereka tentang ‘urusan’ yang Samudera baru sebutkan.

“Tsk. Udah, ntar diajarin.”

Ketika Dana menepuk pelan pundak Samudera, mereka mulai menjambak-jambak rambut.

“Kyaaa ajarin apaan ya? Daddy-daddyan kah?”

Anak SMA jaman sekarang ya, pikirannya.

“Ya ampun! Ya ampun, Lin!” Oliv mencengkeram lengan Rindang erat-erat. Matanya yang bulat membeliak, dan selama dua detik Rindang cemas takut-takut bolamata benar bisa lepas dari kantungnya. “Apakah adegan apel akan terjadi di depan mata kita?”

Di tengah semua kekacauan, kehebohan, gibah bersileweran itu, Samudera mengedarkan pandang dengan bingung. Keningnya mengernyit dengan semua orang yang memandanginya dengan antusias. Lalu matanya menemukan Rindang.

Rindang tersenyum.

Mampus Samuderkha! Biarkh dia tahu rkhasanya diperkhmalukan. 1 – 0.

Tapi hingga sekian detik berlalu, tatapan Samudera tidak meninggalkannya. Dan Rindang … tidak tahu Samudera bisa punya mata yang setajam itu. Sampai rasanya ia ingin mengerucut di kursinya. Ia perlu ramuan yang diminum Alice dari Wonderland untuk mengecilkan diri, lalu menghilang selamanya.

“Lin, you okay?” Oliv melambaikan tangan di depan hidungnya, kemudian menusuk-nusuk pipinya dengan telunjuk hingga Rindang mengerjap-ngerjap, seketika tersentak.

Samudera sudah tidak lagi di sana, di dekat tangga. Karena, ia telah berjalan mendekat. Tatapannya lurus, tepat ke arah Rindang.

Inikah … akhirnya?

Satu langkah di hadapannya, Samudera berhenti. Tangannya terulur. Dan secara otomatis, Rindang memejamkan mata. Apakah ia akan ditempeleng? Dicekik? Didamprat? Disiram air seperti dalam setiap adegan sinetron? Rindang menarik napas, menyiapkan mental dalam-dalam. Semua orang tengah menatap mereka sekarang, siapapun bisa menjadi saksi jika Rindang mau mengadukan pada polisi nantinya.

Satu detik. Dua detik.

Kemudian ia merasakan telapak tangan di puncak kepalanya. Lembut, dan bukannya toyoran, atau hantaman. Ketika ia membuka mata, ia bisa melihat di depannya, Samudera tengah menunduk, menatapnya. Dan tersenyum. Anehnya, ia tersenyum.

“Hari ini rambutnya diiket ya? Manis banget, pacarnya Samuderkha.”

Dan ketika telinga Rindang mendengar guruh bunyi kesiap dari semua orang, Samudera mengedipkan mata.

***

Wah, gimana? Gimana? Tertarik nggak dengan novel komedi romantis ini? Yuk order, yuk. Mumpung buka PO. Ada diskon 10%

WhatsApp Image 2020-04-04 at 5.14.10 PM

Info lengkap, cek postingan sebelumnya, ya.

Dan bisa juga tanya2 langsung di:

Instagram: @specialnay
Wattpad: @naya_hasan

 

 

Author:

Pluviophile Dendrophile

Guest [untuk kamu yang tidak punya acc *cukup masukkan nama & email**email aman*] | [Bisa juga komen melalui acc Twitter & Facebook]