Posted in Fanfiction, The Dawn

The Sundown [3]

 Aleksey_Vorobyov

Tujuh

Gone

“Cinta adalah alasan paling tepat untuk berbuat gila.”

***

Menyebalkan. Jika ditanya pendapatnya tentang pria brengsek bernama Shin Yonghwa itu, maka jawabannya sekarang hanya akan ada satu; MENYEBALKAN. Semua orang mungkin akan berpikir dia adalah pria tampan yang manis, bermata teduh, kalem, lumayan atletis, sopan, gentleman, dan blablabla yang bagus-bagus seolah-olah dia adalah titisan malaikat. Yah, memang terlihat seperti itu. Tidak ada yang tahu betapa sialannya pria itu. Tidak ada. Dan Synne merasa hampir mati karenanya saat ini.

Gadis itu, tidak memedulikan seberapa berantakannya dirinya atau kamarnya, ia hanya bisa fokus melotot pada layar ponsel yang tidak kunjung menyala. Pria itu tidak menghubunginya. Ia sudah mengirim pesan sebanyak tiga kali dengan mempertaruhkan seluruh harga diri dan kehormatannya, dan pria itu tidak membalasnya. Pria itu tidak membalas pesannya. Dengan kata yang lebih mudah, pria itu mengabaikannya. Parahnya, ini berlangsung sudah dua hari, dua hari penuh yang terasa seperti neraka karena tidak ada kabar dari pria sialan itu.

Synne mendesah kasar lagi. Antara ingin menangis dan berteriak mengumpat-umpat sampai suaranya habis, mengamuk sampai puas. Kenyataannya, yang bisa ia lakukan hanya berguling-guling di karpet dan membuat dirinya tampak tidak waras, seperti gelandangan yang berminggu-minggu tidak pernah membersihkan diri. Demi Tuhan ia tidak bisa melakukan apa-apa tanpa kabar dari pria itu—ia tidak pernah tahu bagaimana jadinya tanpa pria itu. Seolah… Shin Yonghwa adalah pengisi baterainya, yang membuatnya tidak akan berfungsi benar jika sehari tanpa mendengar kecerewetan pria itu menyuruhnya mandi, kuliah, dan segalanya. Mungkin, ia terlalu bergantung pada pria itu. Mungkin terlalu manja. Yang jelas, ia merasa sekarat sekarang.

“Dasar jelek! Awas saja kau nanti!” makinya pada ponsel. Jika saja ponsel memiliki otak sendiri, atau setidaknya memiliki perasaan, ia pasti sudah melarikan diri, atau meleleh karena terus-menerus disalahkan. Hei, ia hanyalah sebuah ponsel! Hanya sebuah barang yang kembarannya ada banyak sekali di dunia, tapi kenapa dia yang harus dimarahi??!

Lalu Synne melemparkannya, meringis, dan meraba rasa sesak di dadanya. Ia merasa… hancur berkeping.

Kenapa pria itu menghilang secara tiba-tiba, meninggalkannya, tanpa kepastian?

***

Perasaan seperti itu menyulitkan. Synne menemukan dirinya terbangun dini hari. Atau tepatnya… ia belum tidur. Ia sudah berusaha memejamkan mata namun tidak berhasil membuatnya mengantuk, hanya membuat matanya sakit karena dipaksakan terus menerus menutup.

Dan ia tidak berusaha lagi untuk tidur, tahu bahwa semua itu akan percuma. Laptopnya menyala, halaman yang harus ia ketik terbuka, siap untuk menyambung cerita novel yang seharusnya ia kerjakan. Tapi ia tidak melakukannya. Tidak bisa. Ia tidak melakukan apapun selain membiarkan laptopnya bernyanyi lagu-lagu ballad yang tidak ia dengarkan. Sekali lagi memeriksa ponselnya, dan mendesah lagi. Masih belum ada kabar.

Satu bulir kristal bening mengalir, disusul lelehan-lelehan berikutnya yang dengan segera berubah menjadi isak tak terkontrol.

Bodoh! Kau kemana saja, huh? Setidaknya… meski kau melupakanku, meski marah padaku, kau juga harus membiarkanku tahu bagaimana kabarmu. Apa kau baik-baik saja? Apa kau sudah makan? Apa sesuatu terjadi denganmu? Kau selalu menyuruhku makan yang banyak dan tepat waktu, tapi bagaimana bisa… bagaimana bisa kau tidak membiarkanku tahu kau sudah makan atau belum? Bagaimana dengan begitu aku bisa makan dengan baik?

Aku merindukanmu. Itu saja. Tapi tahukah kau bahwa merindukanmu rasanya semenyesakkan ini? Semenyakitkan ini? Mungkin aku egois, tapi aku merindukanmu saat memaksaku tidur lebih cepat dan mengucapkan selamat tidur. Aku merindukanmu yang membangunkanku pagi-pagi buta. Aku merindukanmu yang mengecek apakah aku sudah makan atau belum. Aku merindukanmu yang suka bertanya apakah aku sudah mandi atau belum. Aku merindukanmu yang penasaran dengan apapun yang kulakukan. Bahkan… aku merindukanmu yang mengomeliku jika aku malas mengerjakan tugas kuliah.

Kenapa kau menghilang tiba-tiba? Kenapa kau setega itu? Rasanya terlalu sakit, Brengsek!

Synne membekap mulutnya saat merasa tidak mampu menahan isakannya. Ia membesarkan volume lagu di laptopnya, berharap semua itu dapat menyembunyikan tangisnya yang parah. Tidak peduli ia sesak napas karena banyak menangis. Tidak peduli matanya akan bengkak yang mengerikan besok. Pria itu menghilang, hampir sama artinya dengan dunianya nyaris berakhir.

***

“Tidak, sudah hampir seminggu dia tidak datang bekerja. Tidak ada kabar. Kami juga khawatir dengannya.”

Jawaban yang Synne dapatkan ketika ia mencoba mengunjungi restoran tempat Yonghwa bekerja dan bertemu Tim, rekan kerjanya di The Duke. setelah pamit, gadis itu meneruskan langkah gontainya.

Ia sudah mencoba segalanya. Ia sudah memutuskan mengubur semua gengsinya yang segunung demi pria itu, hanya demi mengetahui keadaannya. Menelpon pria itu, mengirimi pesan, semua sudah ia lakukan beratus-ratus kali tanpa hasil. Ia juga sudah mendatangi flat pria itu, memencet belnya berkali-kali dan berdiri menunggu hingga larut malam, dan tetap tidak menemukan Yonghwa di manapun. Synne juga sudah menghubungi keluarganya di Korea, tidak ada berita soal kepulangan pria itu. Dan Synne, sudah sampai pada titik putus asanya sekarang.

Ketika ia berhenti melangkah, mendongak dan mengalihkan pandangan dari sepatunya kepada bangunan di depannya, ia tidak punya alasan kenapa ia bisa sampai di tempat itu. Ia hanya sampai di sana. Tanpa menyadari kakinya membawanya menyusuri Dowell Street dan berhenti di sebuah flat berlantai tiga. Pulang ke flat pria itu.

“Ini yang terakhir. Setelah ini… aku akan menyerah, Tuan Keparat. Aku tidak akan peduli lagi padamu!”

***

Dimitri menatap wujudnya di depan cermin. Sudah berhari-hari ia melakukannya. Tanpa bergerak, tanpa merasa perlu untuk bernapas atau melakukan sesuatu apapun yang membuatnya tampak hidup. Karena yah, ia memang bukan sesuatu yang hidup. Ia bergerak, lebih cepat dari yang bisa kau bayangkan, tapi ia tidak hidup. Ia hanya ada.

Tinggi sedang, rambut hitam yang tampak rapi, kulit putih khas Asia Timur, mata kecil yang teduh… ini bukan pertama kalinya, sebenarnya. Sebelumnya ia pernah menjadi seorang pria Korea dengan identitas Lee Jonghyun, seorang pelajar yang bekerja paruh waktu sebagai pelayan kafe. Dengan menyamar menjadi Lee Jonghyun yang malang—yang mati dengan jantung berlubang dan siapapun tidak tahu—ia pernah berhadapan dengan hal yang langka dalam hidupnya, saat pemakan jantung—Shimggun, sebutannya di Korea—yang lain bernama Kyuhyun mempertaruhkan eksistensinya demi seorang gadis Pemburu. Kisah cinta yang terlalu klasik hingga ingin muntah mendengarnya.

Tapi Dimitri tidak lagi bisa tersenyum sinis mengingat kisah itu. karena sekarang pria ini… pria yang ia pinjam identitasnya ini… melihat dirinya sendiri di cermin hanya membuat Dimitri merasa begitu… aneh. Pria itu sudah mati. Shin Yonghwa sudah mati. Dia sudah mati. Dimitri terus berusaha meyakinkan diri, tapi setiap kata dari pria itu tidak mampu menguap dari benaknya.

Flashback

Jalanan itu lengang. Bahkan bangunan-bangunan bata tinggi dan dingin di sekitarnya terasa seakan tidak ingin bicara, angin tidak berhembus sama sekali.

“Apa yang kau inginkan?” Pria itu bertanya, dan Dimitri dapat menangkap raut bingung serta curiga dari caranya menatap.

“Kau. Jantungmu. Dirimu… gadis itu.”

“Apa yang kau

“Gadismu, aku menginginkannya. Dia gadis yang kucintai selama ribuan tahun. Aku menunggunya ribuan tahun. Dan aku harus memilikinya sekarang. Aku tidak akan melepaskannya lagi.”

Normalnya, Dimitri tahu pria di depannya ini akan mengatakan dia gila. Tapi pria itu hanya menatapnya, seolah meneliti kebenaran yang Dimitri ucapkan dengan suara bergetar barusan. Sepanjang eksistensinya, ia tidak pernah mencoba mengungkapkan perasaannya pada siapapun. Mengungkapkannya ternyata membutuhkan energi sebesar itu.

“Synne? Yeon Hee-ku? Aku juga mencintainya, dan aku tidak memiliki rencana melepaskannya.”

Dimitri menemukan dirinya menggeram seketika mendengar ketegasan pria itu. Emosinya terbakar lebih cepat dari cara dia bergerak. Dalam waktu sepersekian detik ia sudah berdiri dekat sekali dengan pria itu, mencengkeram kerah bajunya dan mengangkatnya. Matanya yang terbiasa biru keabuan sekarang berubah nyala menjadi merah darah, dengan titik-titik hitam membentuk pola acak.

“Aku akan memaksamu!”

Yonghwa terjatuh ke tanah di detik berikutnya. Muntah darah. Tangannya mencengkeram dadanya sebagai respon dari nyeri mendadak yang terasa menyengat. Rasanya panas. Ia disadarkan bahwa dadanya sudah terluka parah, ada luka sabet besar melintang di atas dada kirinya, dalam dan panjang. Dimitri membuatnya dengan mudah hanya dengan kukunyaatau apa yang tampak seperti kukunya yang tiba-tiba tumbuh memanjang.

“Lihat. Kau tidak bisa berbuat apa-apa. Kau bahkan sempat berpikir bisa melindunginya?”

Dimitri menunduk, tangannya terjulur meraih dada Yonghwa. Jantung itu, jantung yang berdetak-detak di balik luka itu… ia sudah dapat merasakannya memanggil-manggil. Hangat dan nikmat. Namun Yonghwa mencengkeram lengannya, mencegahnya melakukan apapun yang ingin segera ia lakukan. Ia bisa saja menyentak cengkeram yang baginya terlalu lemah itu, tapi ia tidak segera melakukannya.

“Kau…,” Yonghwa terbatuk, noda darahnya terciprat ke kemeja yang dipakai Dimitri. “Kau bilang kau mencintainya, kan? Bisakah kau menjaganya?”

Pria berambut pirang flaxen itu hanya menatap kaku. “Ya, aku mencintainya. Dan aku akan melindunginya dari apapun.”

“Kau juga harus perhatian padanya. Dia sulit dibangunkan padahal ia ada kuliah pagi, kau harus membangunkannya sejak pagi-pagi sekali. Dia kadang lupa makan, lupa mandi, lupa membawa barang-barang penting yang ia perlukan, lupa menaruh segala sesuatu… kau harus mengingat semua untuknya dan mengingatkannya setiap waktu.” Yonghwa berhenti sejenak. Bernapas sekarang terasa menyakitkan, lukanya menganga terlalu lebar, darahnya terpompa keluar terlalu banyak, dan kepalanya mulai pusing.

“Kau juga harus memperhatikan pakaiannya, ia tidak pandai memilah baju yang sesuai, jangan sampai ia menjadi tertawaan orang-orang. Ia tidak pandai memasak dan hanya suka makan mie instant atau burger pinggir jalan. Sesekali kau harus memasak untuknya, mengisi kulkasnya dengan bahan makanan, dan mengingatkannya untuk tidak makan fastfood itu lagi, itu tidak sehat.

“Yeonnie… dia lahir hari Minggu, 27 desember, saat hari sedang hujan. Ia suka hujan, pohon, hutan, warna hijau dan cokelat, dia suka susu cokelat, es krim, permen kapas, tapi ia tidak begitu suka makanan manis, ia lebih suka yang gurih. Dia tidak suka memelihara hewan karena ia malas merawatnya, merawat dirinya sendiri saja tidak bisa. Dia tidak suka ikan laut karena baginya selalu amis, tapi dia suka lobster. Dia tidak suka makan berbagai daging kecuali ayam. Tolong… pastikan dia makan dengan baik.”

Dimitri tidak mengatakan apa-apa, sadar bahwa ia tidak akan bisa mengatakan apapun. Ternyata… banyak tentang gadis itu yang tidak ia ketahui. Ia tidak tahu harus senang atau apa mendengar semua informasi ini.

“Apa kau sudah selesai?”

“Terakhir bicara padanya… dia mengatakan dia membenciku. Tolong… jika kau bertemu dengannya katakan aku menyayanginya. Sangat.”

Pria berambut pirang yang berdiri anggun sekaligus kokoh itu berdecih pelan. Bukan dengan alasan benar-benar menghina, melainkan lebih kepada betapa ia tidak menyukai kenyataan bahwa ada pria lain yang memuji blackrosenya. Dan ketakutan bahwa pria lemah ini lebih mencintai gadis itu ketimbang apa yang sudah ia lakukan.

“Kau ingin mengambil jantungku?” tanya Yonghwa dalam bisikan parau.

“Ya.”

“Ambilah. Tapi aku harus memperingatkanmu sebelumnya.”

[End of flashback]

Dimitri masih tidak tahu, apakah benar yang sudah ia lakukan? Membunuh pria itu? Pria yang mencintai gadisnya sepenuh hati. Bisakah ia… menggantikan posisi pria itu?

Nyatanya sekarang ia tidak berani mengambil keputusan apa-apa. Ia tidak berani berada dalam jarak lebih dekat dari yang bisa ia bayangkan dengan gadis itu. Ia terbiasa melihatnya dari kejauhan, dan mungkin harus selalu seperti itu. Sekarang, situasinya berbeda. Ia bukan lagi Dimitri atau siapapun yang gadis itu tidak kenali, ia sekarang mengantongi seluruh identitas Shin Yonghwa, pria paling penting dalam hidup Synne, gadis itu. Fakta ini entah bagaimana membuatnya sesak, seandainya saja ia punya jantung.

Terdengar sekali lagi bunyi bel di pintu flat Yonghwa yang sekarang ia diami. Biasanya Dimitri tidak pernah memedulikannya, kali ini pun begitu, namun bel itu tidak berdentang lama, berganti dengan ketukan di pintu. Yah, ketukan di pintu kamarnya.

Merasa tidak percaya, Dimitri beranjak, ia tidak membutuhkan banyak usaha untuk selekasnya mencapai pintu itu, dan lebih tidak membutuhkan banyak usaha dalam upayanya membuka pintu. Ia lebih membutuhkan banyak energi, lebih dari yang dia punya, saat menemukan manik cokelat itu di depannya. Sangat dekat. Gadis itu berdiri mematung di depan pintunya, tampak terkejut dan terluka sekaligus.

“Kau di sini?” tanyanya dengan suara parau. “Apa yang kau lakukan?”

Dimitri tidak mengatakan apa-apa, ia memang tidak tahu tentang apa yang harus ia katakan. Ia tidak pernah latihan, tidak pernah membayangkan sekalipun bahwa gadis itu akan berdiri di depannya, menatapnya, dan bicara padanya. Semua ini terasa tidak nyata hingga Dimitri tidak bisa menguasai diri.

Sedikit demi sedikit, ia melihat perubahan dari ekspresi gadis itu. Wajah Synne yang tadinya kaku, sekarang menampilkan lebih banyak emosi. Ia menggigiti bibirnya. Dan matanya… Dimitri melihat pelupuk mata gadis itu mulai basah.

“Apa yang kau lakukan di sini, Bodoh? Aku setengah mati mencemaskanmu.” Suaranya juga bergetar hebat, Dimitri mencatat.

“Yeon?”

Pertama kalinya. Ini pertama kalinya ia memanggil nama gadis itu. Shin Yonghwa mengatakan bahwa dia lebih senang dipanggil Yeonni ketimbang Synne, karena semua orang sudah memanggilnya Synne. Dimitri merasakan suaranya aneh, selain karena ia memakai suara Shin Yonghwa, ini juga karena rasanya asing sekali mendengar dirimu sendiri mengucapkan nama gadis yang paling kau khawatirkan di atas planet ini.

“Aku merindukanmu sampai mau gila. Kau kemana saja, huh?!”

“Aku—“

Mendengar gadis itu, gadis yang kau cintai selama ratusan nyaris seribu tahun mengatakan dia merindukanmu, bagaimana menjelaskan rasanya? Ini tidak nyata. Ini tidak terasa nyata.

“Kau melupakanku?!”

Tidak. Sedetik pun tidak pernah. Setiap detik membunuhku karena aku merindukanmu. Seandainya aku adalah makhluk seperti kalian yang dengan mudahnya mati, aku sudah terkubur ratusan tahun lalu.

“Kenapa kau diam saja! Apa aku tampak mengerikan! Apa aku memalukan! Kau… lupa bahwa kau pernah mengatakan kau menyayangiku?! Kau—”

“Tidak.” Dimitri memotong ucapan gadis itu. Ia menjulurkan jari jemarima, mencoba menggapai wajah itu. “Bolehkah… bolehkah aku menyentuhmu?”

Sebelum Synne berkata apa-apa, dengan kaku dan pelan sekali pria itu menyentuhkan telunjuknya di pipi gadis itu, bersama ibujarinya mengusap lelehan airmata Synne. Lalu beralih ke hidungnya, kelopak mata, dan bibirnya. Dimitri memejamkan matanya, berusaha meyakinkan diri bahwa ini nyata, bahwa ia bisa menyentuh gadis ini. Haruskah mendadak ia berubah menjadi seorang hamba dan berterimakasih kepada Tuhan?

“Hei,” Synne mendadak menepis tangan Yonghwa, membuat mata pria itu membulat karena syok. Gadis itu masih merengut.

“Aku belum memaafkanmu, tahu. Kau luar biasa menyebalkan!” omel Synne seraya masuk, sengaja menyenggol tubuh Yonghwa saat melewatinya, menegaskan bahwa ia benar-benar masih dongkol.

“Aku lapar! Cepat buatkan makanan!”

“A-apa?”

***

 

Delapan

Hide

“Cobalah bersembunyi. Pepatah mengatakan tidak ada yang bisa menutupi bangkai.”

***

Tidak semua Serdtser memiliki kemampuan istimewa ini. Semuanya mungkin dianugerahi wajah yang rupawan (yang sebenarnya hanya faktor kebetulan di tambah beberapa khasiat sampingan jantung sebagai makanan: jantung membuat awet muda dan mempesona, mitos itu tidak salah), kecepatan yang mengagumkan, dan penglihatan seperti kelelawar yang tajam saat di malah hari, juga pendengaran dan penciuman yang begitu pekanya. Tapi tidak semuanya bisa berubah wujud seenak jidatnya, menjadi siapa saja yang ia inginkan, demi penyamaran iseng maupun untuk keperluan berburu. Satu-satunya yang bisa, yang tertua diantara sejumlah kecil yang ada, adalah Dimitri. Ini tidak didapatkan dengan mudah, tentunya. Ia sudah hidup lebih dari seribu tahun lamanya—kira-kira, ia tidak pernah benar-benar berusaha menghitungnya—sudah membunuh ratusan ribu manusia dan menyantap jantung mereka. Beberapa di antara para korbannya adalah pemburu. Yeah, katanya membunuh seorang pemburu bisa berarti dua hal: jantung mereka bisa menjadi kekuatan, atau… racun. Beruntung, ia mendapat hal pertama, memiliki kekuatan meniru yang menakjubkan dan membuat iri seluruh Serdtser lainnya.

Sekarang, ia sudah menjadi seorang Shin Yonghwa, pria Korea yang tampak baik, kalem, ramah… sempurna. Meski di kenyataan, iblis bersarang di seluruh bagian tidak tampak luar tubuhnya.

Dimitri berjalan ke pintu begitu bel terus berbunyi tidak sabaran. Entah apa yang membuatnya bersedia membuka pintu. Mungkin… sudah saatnya ia untuk keluar. Gadis itu berdiri di sana. Membutuhkan banyak energi ekstra, lebih dari yang dia punya, saat menemukan manik cokelat itu di depannya. Sangat dekat. Gadis itu berdiri mematung di depan pintunya, tampak terkejut dan terluka sekaligus.

“Kau di sini?” tanyanya dengan suara parau. “Apa yang kau lakukan?”

Dimitri tidak mengatakan apa-apa, ia memang tidak tahu tentang apa yang harus ia katakan. Ia tidak pernah latihan, tidak pernah membayangkan sekalipun bahwa gadis itu akan berdiri di depannya, menatapnya, dan bicara padanya. Semua ini terasa tidak nyata hingga Dimitri tidak bisa menguasai diri.

Sedikit demi sedikit, ia melihat perubahan dari ekspresi gadis itu. Wajah Synne yang tadinya kaku, sekarang menampilkan lebih banyak emosi. Ia menggigiti bibirnya. Dan matanya… Dimitri melihat pelupuk mata gadis itu mulai basah. Sesuatu yang sering ia lihat namun jarang sekali ia perhatikan, mungkin ini adalah yang pertama setelah Katya. Dimitri tidak pernah mengerti kenapa manusia mengeluarkan air di matanya saat mereka kehilangan daya dan harapan.

“Apa yang kau lakukan di sini, Bodoh? Aku setengah mati mencemaskanmu.” Suaranya juga bergetar hebat, Dimitri mencatat.

“Yeon?”

Pertama kalinya. Ini pertama kalinya ia memanggil nama gadis itu. Shin Yonghwa mengatakan bahwa dia lebih senang dipanggil Yeonni ketimbang Synne, karena semua orang sudah memanggilnya Synne. Dimitri merasakan suaranya aneh, selain karena ia memakai suara Shin Yonghwa, ini juga karena rasanya asing sekali mendengar dirimu sendiri mengucapkan nama gadis yang paling kau hargai nyawanya di atas planet ini.

“Aku merindukanmu sampai mau gila. Kau kemana saja, huh?!”

“Aku—“

Mendengar gadis itu, gadis yang kau cintai selama ratusan nyaris seribu tahun mengatakan dia merindukanmu, bagaimana menjelaskan rasanya? Ini tidak nyata. Ini tidak terasa nyata.

“Kau melupakanku?!”

Tidak. Sedetik pun tidak pernah. Setiap detik membunuhku karena aku merindukanmu. Seandainya aku adalah makhluk seperti kalian yang dengan mudahnya mati, aku sudah terkubur ratusan tahun lalu.

“Kenapa kau diam saja! Apa aku tampak mengerikan! Apa aku memalukan!” Synne kacau. Dengan mata yang sembab dan pipi dipenuhi bekas air mata dan rambut-rambut menempel di sana, tidak akan salah jika ia disebut mengerikan “Kau… lupa bahwa kau pernah mengatakan kau menyayangiku?! Kau—”

“Tidak.” Dimitri memotong ucapan gadis itu. Ia menjulurkan jari jemarima, mencoba menggapai wajah itu. “Bolehkah… bolehkah aku menyentuhmu?”

Sebelum Synne berkata apa-apa, dengan kaku dan pelan sekali pria itu menyentuhkan telunjuknya di pipi gadis itu, bersama ibujarinya mengusap lelehan airmata Synne. Lalu beralih ke hidungnya, kelopak mata, dan bibirnya. Dimitri memejamkan matanya, berusaha meyakinkan diri bahwa ini nyata, bahwa ia bisa menyentuh gadis ini. Haruskah mendadak ia berubah menjadi seorang hamba dan berterimakasih kepada Tuhan?

“Hei,” Synne mendadak menepis tangan Yonghwa, membuat mata pria itu membulat karena syok. Gadis itu masih merengut.

“Aku belum memaafkanmu, tahu. Kau luar biasa menyebalkan!” omel Synne seraya masuk, sengaja menyenggol tubuh Yonghwa saat melewatinya, menegaskan bahwa ia benar-benar masih dongkol.

“Aku lapar! Cepat buatkan makanan!”

“A-apa?”

***

Kau tidak sedang mencandaiku, kan? Ini benar-benar tidak lucu.”

Dimitriatau mungkin ia harus membiasakan diri dengan identitas barunya, Yonghwamelihat Synne merengut dan menjauhkan piring telur mata sapi yang semenit lalu dihidangkan Yonghwa dari hadapannya. Pasalnya, pria itu bukan hanya memasak isi telurnya saja, namun ia mencampurnya bersama-sama kulitnya. Yang benar saja!

“Begini aku juga bisa membuat yang jauh lebih baik. Aku benar-benar kelaparan, jadi berhentilah iseng.”

Lalu gadis itu bangkit, meraih apron dari gantungannya dan memakainya sebelum mulai berkreasi dengan omeletnya. Gadis itu memakan waktu setengah jam sebelum berhasil menyajikannya dengan tambahan irisan tomat dan daun seledri kering yang ia temukan di kulkas.

“Sudah berapa hari kau tidak belanja? Isi kulkasmu sampai busuk. Tumben sekali kau membiarkannya.” Tumben-tumbenan pula Synne lebih cerewet dari biasanya. Ia sibuk menata piring dan gelas berisi jus jeruk di atas meja sehingga tidak memperhatikan raut tegang di wajah Yonghwa. Pria itu tidak mengatakan apa-apa, dan sepertinya Synne pun tidak ingat untuk menagih jawaban. Segera saja, ia duduk di hadapan Yonghwa dan langsung menyantap masakannya sendiri. Lumayan. Sebenarnya ia berbakat jika saja mau rajin, pujinya pada diri sendiri.

Dimitri hanya menatap piringnya untuk waktu lama, tidak tahu apa yang harus dilakukan. Makanan manusia… bagi mereka ini adalah barang yang menjijikkan. Sama halnya daging mentah penuh darah bagi manusia, menjijikkan.

“Kau takut keracunan dengan masakanku?” todong Synne.

Saat itu, Dimitri tidak bisa mengatakan atau berbuat apapun selain mulai memotong omeletnya dan memasukkan semuanya ke mulutnya, menahannya sekitar satu jam di tenggorokannya sebelum akhirnya Synne pulang. Saat itulah ia berhasil memuntahkannya. Benar-benar makanan menjijikkan.

Sekarang, Dimitri kembali harus menghela napas lelahnya, setidaknya berpura-pura melakukan itu demi menunjukkan betapa pekerjaan ini merepotkan, menyebalkan, dan mengerikan. Dimitri memegang pisaunya, dan memelototi irisan besar daging sapi merah serta berbagai bahan di depannya.

Barusan salah satu temannya—yang ia tidak bersedia repot-repot mengingat namanya—memintanya membuatkan Fried beef with melted cheese yang kedengarannya seperti menggoreng daging lalu diberi keju dan biarkan meleleh. Namun sepertinya, itu tidak segampang namanya. Dimitri tidak mengerti sama sekali harus diapakan daging setebal dan seberat itu.

“Kau kenapa?” Seseorang menepuk punggungnya, Dimitri menoleh, mendapati tagname Tim pada pegawai ini, orang yang memakai seragam koki yang sama dengannya. “Kau tampak aneh, dan kau membiarkan pengunjung menunggu lama!”

Dimitri tidak menyukai orang ini, ia bicara dengan sok dan gaya membentak. Memangnya siapa yang mau bekerja memasak sesuatu yang menjijikkan demi manusia-manusia sialan itu?

“Bagian ini biar aku saja yang urus,” kata Tim lagi, “kau buat lemonade-nya saja.”

Seharusnya ia bersyukur, kali ini ia bisa lepas. Pekerjaan membuat minuman tidak akan serepot, seaneh, dan sebusuk saat membuat makanan. Dimitri baru saja memperhatikan pegawai lain membuat berbagai minuman, dan ia sudah bisa menghapal semuanya dalam sekali lihat.

Sambil membuat lemonade-nya, Dimitri melirik sesekali pada Tim. Dengan sudut matanya ia memperhatikan bagaimana pria jangkung itu memotong dan mengiris tipis daging sapi merahnya, melumurinya dengan bumbu-bumbu, menata bayam, smoke beef, serta keju mozzarella di dalamnya, menggulungnya, mencelupkannya ke dalam adonan telur, sebelum kemudian menggorengnya. Panas-panas, Tim memarutkan mozarella di atasnya hingga keju itu meleleh dan menabahkan saus BBQ serta daun bayam goreng juga. That’s fried beef with melted cheese. That simple.

Mungkin ia hanya harus menekan dalam-dalam rasa mualnya. Besok-besok ia akan bekerja bersama daging dan sayuran (hal paling menjijikkan dari semuanya selain susu basi yang mereka sebut keju itu), dan ia tidak tahu sampai kapan. Ia hanya harus menjalani kehidupan sebagai seorang Shin Yonghwa. Demi Synne.

This fuckin’ shit stuffs.

***

“Sampai jumpa, Synne sayang!” Serra menyengir lebar di belakang kemudi sambil melambai-lambai penuh kegembiraan pada Synne yang baru saja turun dari mobil dan berdiri tepat di depan flatnya. Bagaimana tidak gembira? Mereka barusaja melakukan kegiatan-kegiatan konyol dan tertawa bersama-sama. Mulai dari berbelanja di Cutty Sark Shoping Center—Serra saja yang berbelanja, sementara Ray dan Synne memasang wajah sebal. “Demi Tuhan, kenapa wanita identik dengan belanja? Kenapa mereka rela menyakiti kaki demi belanja?!” gumam Synne, tidak sadar bahwa dirinya sendiri adalah bagian dari kaum wanita yang barusan ia caci maki. Mereka melanjutkannya dengan menonton film thriller terbaru di Odeon Cinema, yang berujung pada nyaris diusirnya mereka akibat tertawa terpingkal-pingkal demi menghujat adegan yang bagi mereka tidak ada ngeri-ngerinya, malah lucu, sehingga mereka harus berhadapan pada wajah keamanan yang kali ini benar-benar horror. Terakhir, mereka menghabiskan waktu di The Slug and Lettuce, sebuah chain pub bergaya minimalis yang menyajikan menu British. Synne tidak minum, dan ia tidak begitu menyukai tempat terakhir itu, Ray mabuk parah setelah bergelas-gelas cocktail yang ia tenggak, dan Serra masih cukup sadar sehingga masih bisa mengemudi.

Ray, yang tadi menghabiskan dua botol whiskey seorang diri sekarang menyengir lebih lebar dengan mata kurang fokus pada Synne.

“Bye-bye, My Synne! Semoga besok kau lebih berisi—“

“Sialan!” geram Synne seraya memukul kepala Ray yang menyembul dari jendela dengan tasnya.

“Aku masuk dulu. Dan kau,” Synne menoleh pada Ray, “hiduplah untuk besok juga.Kenapa kau gampang mabuk dan selalu ingin mabuk jika membicarakan Sadako versi asli itu?!” Lalu beralih pada Serra. “Sampai nanti, ya! Bye!”

“Bye!”

Dengan itu VW Beetle milik Serra segera meluncur membelah jalanan West ParkSide yang sunyi, nyaris bersamaan dengan Synne yang berbalik dan melangkah menuju bangunan Da Vinci Lodge.

Hari ini sangat melelahkan. Seharian ia bersenang-senang bersama dua orang gila yang mengaku sahabatnya itu. Lelah baru benar-benar terasa menggerogoti setelah ia berhenti tertawa dan ditinggal sendirian seperti sekarang. Ia rindu kasur, demi Tuhan! Synne sudah merencanakan akan tidur tanpa gangguan sampai jam sepuluh besok, bahkan. Dan baru disadarinya juga, ada seseorang yang dirindukannya.

Gadis itu mengecek ponselnya selama perjalanan menuju flatnya yang hanya di lantai dua. Wajahnya yang kusam masih agak lebih cerah saat memeriksa jumlah panggilan atau pesan, dan berubah menjadi titik redup terendah saat tidak menemukan apapun. Tidak ada panggilan atau setidaknya pesan dari Yonghwa! Oh, astaga! Apa yang sedang pria keparat itu lakukan, memangnya?! Berkencan dengan wanita lain?!

Dia mungkin sibuk. Yeah, Synne tahu. Tapi bahkan tidak ada secuil pun pesan?! Tidak ada sama sekali?! Padahal sewaktu usai berbelanja tadi Synne sempat mengirimi pesan, menanyakan dengan sepenuh penekanan harga diri tentang apa yang sedang pria itu lakukan. Itupun tidak mendapat balasan! Keterlaluan! Synne merasakan napasnya memburu. Ia tidak habis pikir kenapa pria itu mengabaikannya! Rasanya seperti dilukai. Harga dirinya terluka. Synne merasa sakit kepala memikirkan semua kemungkinan sehingga tidak ingin memikirkannya lagi. Tahu-tahu ia sudah berdiri di depan pintu flatnya. Saat itu ia sudah memutuskan untuk tanpa diganggu siapapun atau apapun kembali ke pelukan cinta pertamanya: kasur. Sehingga tanpa menyalakan lampu, dan hanya dengan melemparkan bootnya ke sembarang arah, Synne sudah berjalan terhuyung-hyung untuk seketika terbaring di kasur.

Namun bayangannya tentang kasur yang empuk dan nyaman salah besar. Ia menemukan cinta pertamanya dan cinta abadinya itu telah berubah bentuk menjadi tonjolan keras yang bergerak, dan bisa terteriak. Seketika Synne menjerit sambil berlari mencari saklar lampu.

Detik berikutnya, kamar itu seketika terang benderang. Synne menemukan seseorang duduk di kasurnya. Seseorang yang baru bangun tidur. Seorang pria, dan ia tidak terlalu menyukai pria ini.

“Demi Tuhan, Mark! Apa yang kau lakukan di sini?!”

Pria itu Mark. Jelasnya, Marcus William Choi. Oh, bukan, nama aslinya Choi Ki Hyun, nama yang diberikan sang ibu yang mencintai ketradisionalan saat pertama kali dirinya di lahirkan di dunia ini. Hanya saja, ayah mereka, Choi Hwang Min yang kebarat-baratan itu, dan seorang CEO yang memiliki perusahaan cukup besar yang berkembang lebih pesat di Eropa itu, lebih senang memanggil anak-anaknya dengan nama barat Mark dan Synne. Ya, Mark adalah kakak Synne, orang yang Synne sebut sebagai terdakwa atas pencurian keberuntungan di dalam perut ibu mereka.

Mark adalah orang populer di Korea Selatan, sebagai salah seorang personel paling mempesona dari salah satu boyband paling bersinar di dunia. Pria ini memiliki jadwal menggunung, harus pergi kemana-mana dalam waktu yang kalau bisa menjadi dua puluh lima jam sehari dan delapan atau smebilan hari seminggu. Jadi agak sulit dipercaya bagi Synne saat pria itu tiba-tiba muncul di flatnya, menyengir aneh dan tampak kumal. Seharusnya Synne memfoto kakaknya yang sialan itu saat ini juga dan mempostingnya di instagram, atau menjualnya pada papparazzi, dengan begitu seperti membunuh dua nyamuk dalam sekali tepuk; ia akan mendapat uang, dan Mark akan ditinggalkan penggemarnya. Ah, menyenangkan sekali andai itu terjadi! Pikir Synne. Sayangnya, ia sedang terlalu lelah bahkan untuk sekedar mengetahui dimana tadi ia menjatuhkan ponselnya.

“Hai, adikku yang manis! Kau sudah mandi? Kau kucel sekali.”

Synne hanya merengut. Ia terlalu lelah untuk meladeni titisan setan yang satu itu. Dan Synne tidak memiliki rencana untuk melupakan keinginannya tidur hanya demi si tidak-penting-Mark. Apapun tidak boleh menghalangi Synne agar bisa istirahat.

“Minggir, aku mau tidur!” Dengan kakinya yang terbilang kurus lagi kurang panjang, Synne menyepak-nyepak punggung Mark agar segera menyingkir dari kasur tercintanya, seolah Mark itu adalah tungau atau sebangsanya.

Tapi, bukan Mark namanya, dan bukan titisan iblis julukannya jika ia mengalah begitu saja. Mark mempertahankan tubuhnya tetap berada di kasur sementara tangannya yang kekar menangkap kaki Synne dan menggulingkan gadis itu jauh-jauh.

“Aku baru tidur dua jam. Aku mengantuk sekali.”

“Ini kasurku! Choi Ki Hyun!” teriak Synne

“Kau masih punya sofa, Choi Yeon Hee!” Mark balas berteriak, dan dengan itu ia berhasil menggulingkan Synne yang memang selalu tidak berdaya sebelum kemudian menggelng diri dengan selimut dan memasang seringai kemenangan yang seribu kali lipat menyebalkan.

“Kau tidur di lantai saja!”

“Ayo bangun dari kasurku!”

“Ini kasurku, Choi Ki Hyun!”

Synne berteriak dan Mark menutupi telinganya dengan bantal. Synne bangkit, meski tenaganya tidak seberapa, tapi ia bukan seorang Synne jika tidak melawan. Ia melakukan apa saja, menarik Mark, mendorongnya, menggelitiknya, sampai menarik selimutnya. Keadaan berantakan sekali ketika Synne menghentikan segala perlawanannya dengan hampir putus asa.

“Yak! Kau itu kan laki-laki dan kau lebih tua dariku! Kenapa kau kekanak-kanakkan sekali!!!”

“Terserah saja. Aku tidak akan kemana-mana!” Mark melongok sebentar, memeletkan lidahnya dan kembali tenggelam dalam balutan selimut yang luar biasa menggoda Synne. Malam di luar sana tadi begitu dingin sehingga tidak ada yang tampak lebih baik selain selimut, mandi air hangat pun tidak.

Jika ini merupakan sebuah film, maka ini adalah film angst yang berakhir tragis. Synne jatuh kelelahan dan bersandar di tepian kasur setelah usahanya yang percuma demi mengusir Mark. Mark itu seperti wabah penyakit yang sulit diberantas.

Dengan kesal, gadis itu mengambil tasnya yang sudah terlempar ke depan pintu dan memakai kembali mantelnya.

“Kalau begitu aku akan menginap di flat Yonghwa Oppa saja!”

“APA?!” Seketika Mark bangun dari (pura-pura) tidurnya.

“Aku mau menginap di tempat Yonghwa Oppa. Kenapa?!”

Synne belum sempat kabur—dan sebenarnya ia tidak terlalu ingin pergi kalau bukan karena terpaksa, cuaca di luar menakutkan—karena tahu-tahu saja Mark sudah buru-buru mengejarnya dan mencengkeram pergelangan tangannya.

“Hei, kau itu anak perempuan! Kenapa mau menginap di tempat laki-laki?!” omel Mark seraya menjentik ubun-ubun Synne hingga gadis itu meringis.

“Kau sendiri mengenalnya dengan baik. Dia orang baik. Jauuuh sekali lebih baik darimu! Dia tidak akan macam-macam denganku.”

“Memangnya ada pria waras yang berminat macam-macam denganmu?”

Synne melotot, namun belum sempat bereaksi apa-apa saat Mark melanjutkan ucapannya. “Tapi laki-laki dimana-mana sama saja. Mereka itu berbahaya.” Mark mengucapkannya dengan penuh ancaman, Synne mulai membayangkan ada semacam backsound menakutkan tadi.

“Kau lupa kau juga laki-laki, Mark?”

“Panggil aku Oppa. Kau itu tidak ada sopan-sopannya. Dan ya, karena aku laki-laki maka aku tahu laki-laki itu seperti apa.”

Synne merengut kesal, namun ia menjatuhkan kembali tasnya dan melepaskan mantelnya. “Kalau begitu aku akan tidur di kasur dan kau tidak boleh mengganggu! Kalau bisa kau saja yang menginap di flatnya!”

Mark diam saja ketika Synne merayap ke kasurnya dan tidak berapa lama, sepertinya ia sudah tertidur kelelahan. Mark duduk di sofa, menyalakan tivi, namun matanya tidak fokus ke sana.

Beberapa jam lalu, ia sudah bertemu Shin Yonghwa. Dan Mark tidak tahu kenapa ia tidak menceritakannya pada adiknya.

[flashback]

“Kau kabur kemana sebenarnya, Mark?” suara Manager di ujung telpon kedengaran khawatir. Jelas, mereka sedang di London untuk tur, bukannya Korea. Bagaimana mungkin anak itu berkeliaran sendiri di jalanan kota London bahkan tanpa izinnya? Bagaimana kalau tersesat atau dikejar-kejar papparazzi? Mark itu benar-benar. Membuat siapapun migrain.

“Maaf, Hyung. Aku harus mengunjungi adikku sebentar,” balas Mark dengan nada meminta maaf. Hah, kalau bukan karena ibunya yang memaksa dan menceramahinya habis-habisan selama dua jam penuh, Mark tidak akan mau repot-repot memeriksa apakah adiknya, Synne, sekedar masih hidup atau tidak. Oke, sebenarnya ia tidak sekejam itu juga, dan jauh di lubuk hatinya sebenarnya ia pernah khawatir juga waktu Synne mengalami kecelakaan beberapa tahun silam, atau saat gadis itu terlambat pulang dari sekolah karena salah naik bus. Ia peduli, sayangnya hanya pada saat-saat tertentu yang langka terjadi. Seringnya mereka hanya menghabiskan kebersamaan dengan saling mengejek, mengutuk, dan mendoakan semoga salah satu dari mereka adalah anak yang tertukar.

“Oh? Benar juga. Adikmu di London, ya. Kalau begitu baiklah, tapi pastikan kau kembali sebelum jam sembilan, kita ada interview.”

“Tentu, Hyung. Aku tidak akan mengecewakanmu. Aku janji!”

“Janjimu itu banyak yang palsu, Mark. Tapi yasudahlah. Pokoknya kau tidak boleh terlambat! Kalau tidak

“Bye, Hyung!” ujar Mark buru-buru, sambil mennyengir tidak tahu diri ia menutup ponsel dan menyimpannya di dalam saku. Telinganya masih trauma setelah dimarahi sang ibu, sekarang ia tidak bisa menerima omelan lebih-lebih lagi.

Dengan susah payah, ia berhasil menemukan flat anak cecurut itu yang berada di jalan…. Niat awal Mark mulanya hanya ingin memastikan adiknya satu-satunya itu masih bernapas atau tidak saja, yang kemudian bertambah keinginan untuk menumpang pemakaian kasur barang satu dua jam karena selama di pesawat Mark tidak bisa beristirahat dengan tenang. Beruntung, waktu itu ada seorang kakek keluar dair flat sehingga Mark hanya perlu menyelinap dan mencari kamar Synne tanpa harus menunggu di depan flat seperti anjing tersesat dulu. Ketika sampai di depan kamar gadis itupun, ia menemukannya tak terkunci.

Mark mendorong pintu itu pelan, dalam hati ia sudah mempersiapkan suaranya agar nanti sekeras mungkin saat mengagetkan si kecil Synne. Namun kemudian, dirinya sendirilah yang dibuat kaget.

Mark menemukan Yonghwa, tapi bukan hanya itu masalahnya. Shin Yonghwa berada di flat Synne. Hal itu tidak lagi terasa janggal sejak hari dimana Yonghwa datang ke kediaman orang tua mereka dan meminta secara langsung agar diizinkan melamar Synne. Ya, Synne yang masih balita itu! membuat Mark ingin tertawa berguling-guling mendengarnya sampai bercucuran air mata. Tapi berkat kesungguhan pria itu, orang tua Mark dan Synne pun setuju. Wajar saja seorang tunangan bermain ke flat calon istrinya. Yang aneh adalah, sesuatu yang sedang di lakukan Yonghwa.

Mark menemukan pria itu di ambang dapur, sedang memunggunginya. Ia berdiri dan tampak seolah sedang memakan sesuatu dengan lahapterdengar kunyahan dan geraman senang. Tapi apa yang sedang dimakannya dengan berdiri dan tidak sabaran?

“Yonghwa ssi.”

Yonghwa menoleh. Sesaat, sesaat yang terasa seperti ilusi, Mark melihat darah berlumur di mulut pria itu, begitu juga dengan sesuatu yang seperti gumpalan merah di genggaman tangannya. Mark mengedipkan mata, apa yang salah dengan penglihatannya?! Ia melihat Yonghwa terburu-buru pergi ke wastafel dan membersihkan apapun itu yang ada di mulut dan tangannya. Dan setengah tidak percaya akan penglihatannya, Mark melihat air yang mengalir dari wastafel berubah merah sebelum memasuki pembuangan.

“Oh“ Yonghwa menoleh secepatnya, menghampiri Mark, dan tidak mengatakan apa-apa lagi selain ‘Oh’ yang barangkali berarti halo.

Dimitri hanya tidak bisa memutuskan apakah ia mengenal orang ini atau tidak. Apakah ia harus pura-pura bersikap ramah atau tidak. Astaga, penyamaran ini menjemukan, dan lebih menyiksa dari sebelum-sebelumnya. Biasanya ia tidak akan peduli. Ia hanya akan meminjam wajah dan identitas tanpa repot-repot memikirkan apakah sikapnya berubah dan bagaimana orang di sekitar bereaksi terhadapnya. Tapi kali ini… entah bagaimana ada semacam perasaan bersalah yang tidak mau pergi, menempel ketat dan begitu lengket di pikirannya.

Sementara Mark memandanginya dengan kening berkerut yang hampir-hampir tdiak berusaha ia sembunyikan. Demi Neptunus! Ia sudah datang jauh-jauh dari Korea. Mungkin berlebihan untuk mengharapkan sebuah pelukan dan ciumandan Mark juga sama sekali tidak mengharap itutapi hanya satu kata ‘Oh’ yang tidak ada hangat-hangatnya sama sekali membuatnya keheranan. Biasanya Yonghwa akan selalu menyapanya lebih dulu jika bertemu, dan dengan cara yang sangat sopan. Tapi kali ini, tatapan pria itu bahkan seolah Mark adalah maling yang ketahuan memasuki rumahnya.

“Apa si pemalas ada di flat? Mom memaksaku untuk memeriksanya.”

“Pemalas?” tanya Yonghwa kaku. Oh astaga, Mark tahu Yonghwa itu memang orang yang agak serius dan sopan, tapi memangnya ia tidak memiliki secuil pun selera humor? Kasihan sekali.

“Synne, maksudku.”

“Oh, ya. Dia sedang pergi, sepertinyaAh, dan kurasa aku harus pergi juga.”

Dengan itu Mark tidak lama bersama Yonghwa, pria yang sekarang menurutnya begitu aneh itu. Yonghwa cepat-cepat berpamitantidak, Mark lupa bahkan pria itu tidak pamit melainkan hanya pergi begitu saja.

Aneh. Sangat. Apa memangnya yang pria itu telan sebagai sarapan tadi pagi? Omong-omong soal makan… lalu apa yang dilakukannya di ambang dapur tadi itu? Apa… yang sedang dimakannya?

TBC

Posted in Fanfiction, Four Seasons Garden, Hurt, KyuMin couple, Romance, The Dawn

Baby Scandal [2]

baby scandal

 

FSGarden, group band wanita yang sempat menjadi perbincangan hangat seminggu terakhir bahkan menjadi topik pencarian tertinggi di naver karena skandal besar yang dialami salah seorang anggotanya dikabarkan akan mulai kembali beraktifitas hari ini. Skandal yang dimiliki Lee Yeon Min atas kehamilannya yang tersorot media, dan menimbulkan banyak pro-kontra oleh netizen, ternyata tidak lantas membuat grup ini harus vakum. Hari in, dijadwalkan mereka akan memulai syuting Home Sweet Home-nya bersama grup legenda, Super Junior. Bagaimana keseruan kegiatan acara ini nantinya? Reality show Home Sweet Home akan segera tayang di MBC tv pada sabtu depan. (Allkpop)

Komentar:

ImHaeKyu: Benar-benar tidak tahu malu! Aku sebagai fans Oppadeul Super Junior tidak terima jika mereka harus syuting bersama gadis munafik itu!

Ryeon99: Seharusnya Lee Yeon Min pergi ke neraka saja. Jika sesenti saja dia menyentuh Oppaku, terutama Kyuhyun, aku berani menjamin wajahnya yang sok manis itu tidak akan bisa dikenali lagi! Aku sekarang juga akan pergi ke studio dan mencongkel matanya..

SeungJin07: Yeonmin Nuna!! Bagaimana mungkin nuna bisa hamil?! Ini tidak bisa dipercaya! Katakan padaku siapa pria yang menghamilimu?! Bukankah nuna bilang tidak memiliki kekasih? Nuna benar-benar mematahkan hatiku T_T

HongStar_: No! No! No! Yeon Min FS Garden? Kesayangan FnC? Bagaimana grup baru sudah membuat ulah??! Kau mempermalukan FnC. Tidakkah berpikir sebelum bertindak?! Semoga comeback FT Island tidak bermasalah karnamu.

 

*** Continue reading “Baby Scandal [2]”

Posted in Fanfiction, Fantasy, Romance, The Dawn, Thriller

The Sundown [2]

 Author: Rainaya Jo

page

Empat

Blackrose

“Cantik. Dingin. Kelam. Dan berarti selamanya.”

***

            Wychwood. Sebuah hutan lembab yang masih tersisa di bagian Oxfordshire, gelap, dan hampir seperti tak terjamah karena kepopulerannya sebagai hutan angker di benak masyarakat. Di kedalamannya, di bagian jantung hutan, di sanalah tempat yang menjadi kunjungan rutin Dimitri. Setidaknya, beberapa hari belakangan.

Ia diam, mendengarkan campur-aduk suara para penghuni hutan, berisik hewan-hewan malam; jangkrik yang bersahutan, kawanan katak, monyet panggil memanggil, rubah… Dimitri memfokuskan telinganya pada bunyi hewan terakhir. Ia mencium bau rubah betina yang besar tidak begitu jauh dari tempatnya sekarang. Masih bergelantungan terbalik pada salah satu cabang pohon, masih dengan mata terpejam, Dimitri mulai menghitung mundur. Ia harus disiplin, segera mengakhiri acara bersantainya dan mulai berburu. Sudah hampir pukul tiga pagi, waktu yang tersisa tidak begitu banyak sampai fajar datang, di musim sekarang matahari terbit jam empat pagi. Maka, dengan perhitungan begitu konkret, tepat ketika sang rubah mengambil jalan yang salah, yaitu jalan yang diawasi Dimitri—insting yang salah, membawa kepada pemangsanya—detik itulah Dimitri memutar balik posisinya, melompat, dan detik berikutnya, rubah itu sudah terkapar dengan luka besar, menggelepar di telapak tangannya.

Darah berwarna merah segar menetes-netes melewati genggaman jemarinya, bau amis pekat menguap di udara.

“Astaga, sekarang ini sedikit menjijikkan.”

Tidak membutuhkan waktu lama baginya untuk bergerak cepat di antara semak dan rimbun pepohonan sebesar dua kali lipat ukuran normal sebuah pintu rumah. Dalam hitungan detik ia sudah berdiri di tempat itu, dan tanpa aba-aba segera melempar hasil perburuannya pada sosok lain di kegelapan: Max. Sosok itu menggeliat dari tidur telentangnya di atas tanah—di atas semak berduri, sebenarnya—menemukan hasil lemparan Dimitri tepat mengenai lehernya, membuat kotor oleh noda darah pakaiannya. Dan otomatis, itu membuatnya menggeram semakin kesal. Semakin, karena sebelumnya ia memang sudah kesal setengah mati pada Dimitri. Pria itu menyegelnya. Lagi. Membuatnya tidak bisa merasakan apa-apa selain rasa sakit dan panas, menciptakan relief hijau kebiruan yang membuatnya terlihat seperti munculan urat-urat yang jelek. Seolah ia zombie. Dan paling menyebalkan dari itu semua adalah bahwa keadaan ini membuatnya tidak bisa kemana-mana, meski ia hampir bisa dikatakan beradaptasi dengan rasa sakit itu, segel Lirén membuatnya tidak bisa pergi jauh-jauh, seakan ada rantai tidak kasat mata mengikat seluruh pori kulitnya.

Yah, pria itu memang bertanggung jawab besar soal memberi makan. Tapi proses memberinya itu bukanlah sesuatu yang bisa dianggap hal menyenangkan bagi Max, atau siapapun. Ini jauh sekali berbeda dengan menghadiri sebuah jamuan makan, yang paling sederhana sekalipun. Lihat tadi bagaimana Dimitri memperlakukannya, seperti melempar bangkai pada anjingnya, dan bahkan tadi Dimitri benar-benar melempar bangkai.

“Aku tidak mengharapkan protesmu. Makan saja,” ujar Dimitri sebelum Max sempat mengatakan komplain apa-apa. Yah, sepertinya pria itu sudah hafal kebiasaan umpatan yang kerap Max lontarkan.

Maka dengan segan Max mulai menggigit dada rubah besar itu, membuat sobekan besar dengan giginya, sebelum akhirnya ia menyantap secara langsung jantung yang menyembul sedikit. Tidak seperti Dimitri yang lebih senang makan dengan ‘dikupas’, kali ini Max tidak mau menyusahkan dirinya sendiri, ia makan jantung itu dengan ‘kulit-kulitnya’, atau tampak begitu. Lama-lama, kunyahannya makin cepat dan beringas. Ia sudah melupakan segalanya yang tidak berkaitan dengan rasa lapar dan fakta bahwa sebuah jantung selalu menjadi alkohol terbaik yang pernah ia cicipi.

“Dasar anak-anak. Rakus!” gumam Dimitri.

Max mendongak, melepaskan bangkai rubah dari mulutnya, membiarkan darah masih berlumur di mulut bahkan sampai ke hidung dan meleleh di dagunya. Demi menatap benci pada komentar Dimitri, menyebabkan manik matanya yang gelap bersemburat merah menyala.

“Apa kau bilang? Hei. Jika kita adalah manusia, maka aku ini lebih tua darimu! Aku sudah dua puluh enam, dan kau… tampak seperti remaja kolot!”

“Oh, ya?” Dimitri mendengus, senyum tipis yang terpapar di bibirnya penuh ejekan. “Sayangnya kita bukan manusia. Kau baru lahir kemarin, dan aku, ratusan tahun lebih tua darimu.”

Kenyataan itu menampar Max. Oh, kadang ia lupa… bahwa ia sudah berubah. Perubahan ekspresinya menjelaskan bahwa ia tidak bisa bersyukur atas pilihan ini. Tidak akan ada yang mau menjadi makhluk semenjijikkan ini, tidak ada yang lebih idiot dari dirinya.

“Kau menyesal, bukan?” Dimitri menebak.

Max menggeleng, atau mencoba begitu. “Tidak. Ini bukan apa-apa. Ini demi Summer. Aku bertahan demi Summer.” Lalu ia menyantap rubahnya lagi dengan terburu-buru, berharap itu berhasil menguapkan pikiran-pikirannya.

Dimitri diam, memperhatikan, memejamkan mata, kemudian membiarkan berbagai kenangan masa lalu membanjiri pikirannya. Katya… katya… katya.

“Aku menyesal,” ucapnya tiba-tiba. Max menghentikan kegiatan makannya. Pria itu menatap lurus-lurus pada Dimitri sambil berharap segera mendapat jawabannya. Dimitri… menyesal?

“Dulu aku sangat menginginkan kehidupan abadi, kekuasaan abadi, dan mempertaruhkan akal sehatku demi itu semua. Sekarang… tidak ada yang kuinginkan selain hidup bersama seseorang, menua bersamanya, dan mati di sisinya.”

“Kau… jatuh cinta? Ehm—maksudku, kau menemukan… apa itu namanya.. err… blackrosemu?”

“Ya. Namanya Synne.” Seketika, Max bisa melihat kesakitan di mata Dimitri, yang tidak pernah ia saksikan. “Aku harus bagaimana?”

***

            Yonghwa menaburkan kacang, lalu menghiasnya dengan bebeapa iris lemon dan jeruk di atas krim, terakhir mengelap pinggiran piring saji St. Clement’s Pie yang baru selesai ia sajikan sebelum menyerahkannya pada Mr. Wood, kepala koki di restoran itu. Pria tinggi dan tambun yang usianya tidak kurang dari lima puluh tahun itu mengangguk singkat dengan wajah puas sebelum menyorongkannya pada pelayan untuk segera di hidangkan. Seorang anak laki-laki kecil dari keluarga kecil yang katanya datang dari Jerman untuk berlibur di London itu menginginkan St. Clement’s Pie, pie jeruk khas British kesukaannya sebagai kue hadiah ulang tahun. Dan Yonghwa berusaha sebisanya agar menghasilkan makanan terbaik.

“Kerja bagus,” ujar sang kepala koki pada Yonghwa, dan rekan-rekan yang lain. Ia melirik jam dinding besar yang tergantung tepat di arah jam dua belas dari sudut penglihatannya. Sudah lewat tujuh menit dari jam sepuluh. “Ini pelanggan yang terakhir kukira, sudah waktunya restoran untuk tutup. Kalian boleh pulang duluan.”

“Terimakasih, Chef,” sahut semua orang nyaris berbarengan.

Yonghwa melepaskan topinya dan sarung tangan, ia berjalan ke arah ruang ganti. Disimpannya seragam serta semua kelengkapannya sebagai asisten koki di dalam loker, dan menukarnya dengan pakaian ganti serta ranselnya. Pria itu membuat gerakan meluruskan punggung sebentar sebelum melangkah keluar dari ruang ganti. Rasa-rasanya tubuhnya sudah mau rontok karena bekerja, meskipun ini baru hari pertamanya. Itupun sebuah pekerjaan yang ia dapatkan dari seorang koki kenalannya yang memiliki hubungan dengan pemilik restoran di Inggris ini. Siang di Inggris yang lebih panjang dari Korea belum bisa benar-benar ia adaptasi. Benar-benar.

“Hei, Sobat!” Seseorang masuk, pria dengan bintik-bintik merah di hidungnya yang begitu ramah. Ia mengalamatkan tatapannya pada Yonghwa. “Ada seorang gadis menunggumu di luar. Pacarmu, ya?”

“Gadis?”

Tanpa berpikir banyak, Yonghwa segera mengambil ransel dan jaketnya untuk berlari ke luar ruangan, bahkan ia lupa untuk sekedar membalas pertanyaan rekan barunya tadi dengan benar. Satu hal yang bisa ia pikirkan hanya kekhawatiran. Yeonhee kah? Bagaimana mungkin gadis itu ada di tempat kerjanya malam-malam begini? Tapi… ia sendiri tidak memiliki kenalan lain di negeri asing ini.

Cukup dengan melihat punggungnya saja, yang saat itu sedang duduk di tangga di luar restoran, menghadap jalanan di luar, Yonghwa sudah bisa menyimpulkan bahwa tebakannya tidak salah. Yonghwa segera melangkah lebih cepat menghampirinya.

“Yeon?”

“Oh?” gadis itu berbalik, hidungnya mulai memerah karena udara dingin. “Kau lama sekali?”

“Apa yang kau lakukan di sini?!”

Synne—gadis itu—tidak langsung menjawab. Ia mencebik dan memperlihatkan dua kantung belanjaan besar. “Aku berbelanja tadi, dan kupikir… kau bisa memasakkannya untukku.”

“Berapa lama kau menungguku?”

“Tidak sampai satu setengah jam—“

“Ya Tuhan! Kau di luar saja? Bahkan kau tidak memakasi jaket. Kau pikir tubuhmu itu robot? Kau bisa sakit, tahu!”

Tepat setelah Yonghwa mengatakannya, gadis itu segera bersin, dan menyengir. Ia memang tidak memiliki sistem pertahanan tubuh yang cukup bagus.

Terburu-buru Yonghwa melepaskan jaketnya dan memasangkannya di pundak Synne. Synne tertegun, namun tidak cukup terkejut mendapati prianya ini adalah tipe pria klasik, gentleman yang menjadi impian setiap gadis. Apa yang sudah ia lakukan sampai ia bisa mendapatkan pria seperti ini?

“Ayo pulang ke flatku, jaraknya tidak jauh dari sini,” ujar pria itu seraya menggenggam tangan Synne yang bebas dari sarung tangan, sama seperti tangannya sendiri. Kulit bertemu kulit. Mereka sama-sama tidak memakai sarung tangan, tapi anehnya… itu terasa hangat sekali.

“Aku tidak bawa mobil, dan flatku cukup dekat kok dari sini, kau tidak keberatan, kan jalan kaki?”

Synne mengangguk. Tentu saja. Bukankah berjalan bergandengan tangan di bawah lampu-lampu sepanjang jalanan Creek Road di bawah langit London yang terbiasa muram seperti ini lebih romantis? Uh, ia hampir mati kedinginan tadi dan masih sempat-sempatnya memikirkan hal romantis.

***

Mereka mengambil simpang ke kiri, memasuki Norway Street sebelum kemudian nanti belok ke kiri lagi untuk sampai di Dowells street, letak flat Yonghwa berada. Di seberang jalan, di sisi jalan yang tidak terjangkau peron lampu, pria—makhluk—itu menatap lurus pada keduanya. Tanpa kedip. Tanpa pergerakan apa-apa. Tanpa hela napas sekalipun. Tidak ada yang bisa terbaca dari ekspresi Dimitri, wajahnya masih seperti biasa­—kaku. Yang ia tahu hanya… ada perasaan tidak senang berkecamuk di dadanya melihat mereka berjalan bergandengan tangan. Ada perasaan… bahwa ia ingin, ingin sekali menggantikan posisi pria di sana itu, menggenggam tangan gadis itu dan berada di sisinya sepanjang waktu tanpa potensi menyakitinya atau apa. Ia diingatkan kembali sekarang pada rasa yang terkubur ratusan tahun silam, meski ia memang tidak pernah bisa benar-benar melupakannya. Saat itu, setiap melihat gadis itu dari jarak yang ia anggap aman, semua yang bisa ia lakukan hanyalah menyumpah dan berharap, seandainya ia bisa dilahirkan sebagai manusia biasa. Sebagai makhluk yang lemah itu. Makhluk yang bisa mati dengan mudah. Makhluk yang kompleks dengan perasaan dan ekspresi mereka. Makhluk yang setara dengan gadis itu dan mampu melindunginya, atau setidaknya mengira bisa melindungi orang-orang yang dicintai padahal tidak. Setidaknya, makhluk seperti manusia tidak makan jantung manusia lainnya, dan itu adalah poin paling melegakan jika saja ia menjadi manusia.

Ia tidak bisa bersama gadis itu karena rasa haus dan laparnya. Ia takut… kehadirannya hanya akan menyakiti gadis itu, Katya. Dan ia pasti akan lebih mengutuk diri jika sesuatu terjadi pada gadis itu. Hal sial dari menjadi seorang Serdtser adalah bahwa kau tidak akan segampang itu jika ingin mencoba mati dan bunuh diri untuk mengakhiri semua rasa sakit, kau ditakdirkan menjadi makhluk abadi.

Katya. Seiring waktu Dimitri melihat gadis itu terus bertumbuh dewasa, ia menemukan cinta pertamanya sekaligus orang yang tepat untuknya beberapa tahun kemudian, seorang pria yang setara. Dimitri menyaksikan mereka menikah, lalu melahirkan anak-anak, dan Katya… terus berubah. Dalam waktu yang tidak begitu terasa, Dimitri mendapati dirinya masihlah sosok yang sama. Jaman berganti tapi ia masih setia dengan light blonde licin yang disisir ke belakang. Dan Katya sudah sama sekali tidak mirip gadis belia cantik yang pertama kali ia lihat membuatnya merasa memiliki jantung yang berdebar. Katya menjadi renta di sisi suaminya. Tetap saja, Dimitri merasa berdebar setiap melihatnya. Ia ingin seperti itu, melewati setiap fase singkat itu bersamanya, menjadi tua sama-sama. Sayangnya, bahkan gadis itu tidak pernah menyadari keberadaannya. Sampai hari dimana Katya bernapas untuk terakhir kali di depan suami serta cucu-cucunya, Dimitri tahu… ada rasa sakit yang tidak akan pernah ada obatnya, yang akan ia tanggung sepanjang eksistensinya. Ia tidak akan pernah melihat Katya lagi.

Ternyata ia salah. Ia menemukan lagi gadisnya, dalam diri gadis itu. mereka tidak benar-benar mirip, namun Dimitri tahu bahwa gadis baru itu memiliki mata dan tawa yang persis seperti milik Katya. Synne namanya. Sedikit sial, karena Synne telah menemukan seorang pria yang setara di sisinya.

Blackrose… Aku tidak akan mengulangi kesalahan yang sama. Kali ini… aku harus berhasil bersamamu.”

***

“Enak?”

Synne menggangguk.

“Kenapa diam saja?”

“Aku…,” Synne mengernyit. “Aku kenyang,” katanya sambil menyendok lagi dengan lemah sup kimchinya, dan memakannya bersama nasi. Sudah berapa lama ia hidup di London, makan tanpa nasi rasanya tetap seperti bukan makan. Ia berkhayal bisa memakannya selahap mungkin, semua tampak terlalu lezat dan menggiurkan. Namun menyadari pria itu ada, duduk di sisinya, dan hampir seperti memperhatikan setiap gerak geriknya, seluruh rasa laparnya menguap entah kemana.

“Tidak usah memaksakan diri.”

“Tapi aku baru makan separuh.”

“Yah, perutmu kecil sekali. Sama seperti tubuhmu.”

Synne mendelik. “Itu normal, kan? Kau mau memangnya berjalan bersama seorang gadis dengan badan kecil dan perut besar? Bisa-bisa aku dikira hamil.”

Yonghwa terkekeh. “Aku tidak keberatan.” Yang disambut Synne dengan memutar bolamatanya.

“Astaga aku benar-benar kenyang!” Synne menyerah, ia membalik sendok supnya dan bersandar di kursi. “Aku tidak ingin seperti gadis kebanyakan, yang makan sedikit demi gengsi di hadapan seorang pria. Aku ingin seperti gadis-gadis dalam novel dan drama yang bisa makan banyak tanpa merasa malu di hadapan pria itu.”

“Kau malu?”

“Yah… sedikit. Aku bukannya gengsi, tapi… kau tahu, aku merasa mulas dan kehilangan selera makan setiap melihatmu? Aku tidak mungkin makan sebanyak ini.”

Yonghwa tertawa, mengacak rambut Synne.

“Percaya sekali dengan drama. Gadis yang kau iri itu tidak masuk akal, tetap kurus meski banyak sekali makan. Mereka cacingan memangnya? Tapi Yeon, aku minta maaf jika aku memang benar-benar menghilangkan selera makanmu. Kau mau aku pergi sebentar?”

Synne mendongak, membiarkan irisnya menemukan kembali manik gelap pria itu meski sadar benar akan resikonya, ia akan kacau. Kemudian menggeleng, memutuskan bahwa kehilangan makanan lebih baik daripada kehilangan pria ini barang beberapa detik saja. Padahal selama dua puluh tahun hidupnya, makanan tetap berjaya dalam hal paling penting nomor satu menurut Synne.

“Aku ingin kau makan dengan baik,” ujar Yonghwa lagi, merapikan anak rambut di pipi Synne, menyelipkannya di belakang telinga gadis itu. “Aku bahkan akan sangat senang jika kau bisa lebih gemuk. Jadi kau lebih sehat.”

“Aku juga sedang berusaha,” sungut gadis itu, kembali cemberut.

Synne menatap piringnya lagi, mendengarkan baik-baik cara pria itu tertawa kecil sekarang. Entah sampai kapan, suara dan tawa pria itu akan selalu menjadi kesukaannya.

“Kalau sudah selesai, cuci piringnya sana!”

“Apa?” alis Synne berkerut. “Biasanya kau yang mencucinya. Ini kan flatmu.”

“Istriku setidaknya harus bisa mencuci piring,” Yonghwa menyeringai setelah tadi penuh penekanan pada kata pertama; istri. “Yang bersih ya, Sayang.”

“Haish. Sayang, pantatmu!”

***

“Dasar aneh,”

Yonghwa menemukan Tim, rekannya yang bekerja sebagai pelayan di Th Duke. Bersungut-sungut mendekati meja saji. Pria tinggi dan periang itu tidak biasa-biasanya menggerutu soal pelanggan.

“Ada apa?” tanya Yonghwa, bergerak mendekat karena penasaran.

“Ada yang minta jantung, kau buatkan satu porsi. Aku akan mengantarkan wine pesanannya.”

“Jantung?”

“Yeah, makanya kubilang aneh. Dia tidak peduli itu jantung apa, yang penting jantung, katanya.”

Sesaat Yonghwa ikut mengernyit, sebelum mengendikkan bahunya dan berkata, “baiklah, akan kusiapkan,” ia menoleh pada rekannya yang lain. “Drew, kau masih menyimpan jeroan sapi yang tadi, kan?”

“Ada di lemari pendingin!”

Dengan cekatan, pria itu memutuskan untuk memasak modifikasi dari Cassoulet. Dia menggoreng bawang dan saus di wajan panas sambil dengan cekatan membersihkan dan memotong-motong jantung sapi yang disimpan Drew di lemari pendingin. Kemudian ia mencampur seledri, wortel, tomat, jantung, dan seluruh bahan bersama saus, sebelum kemudian menambahkan red wine dan air dingin. Lima belas menit, hidangan sudah siap, namun lima menit setelah disajikan, ia melihat Tim kembali.

“Ada apa?”

“Pelanggan yang tadi itu, ia ingin bertemu denganmu.”

***

Tinggi, ramping, rambut pirang cerah, dagu runcing, mata biru yang tajam. Orang ini Eropa sekali, dan Yonghwa merasa yakin ia tidak pernah mengenal pria ini sebelumnya. Hal yang aneh mengingat pria itu tadi ingin bertemu dengannya, dan sekarang hanya diam memandanginya. Cassouletnya tampak habis, namun ia tidak menyentuh winenya sama sekali. Padahal itu Agricola Punica 2009, wine dari Italia yang berharga selangit.

“Apa kau menyukai masakanku? Atau ada masalah?” Yonghwa memutuskan untuk segera mengakhiri keheningan itu.

“Tidak. Makanannya lumayan,” jawab pria itu kaku. Kemudian diam lagi.

“Lalu… ada apa, Sir?”

Pria itu masih diam. Yonghwa merasakan kerisihan yang makin besar, pria ini seolah menelitinya, hampir persis seperti seorang anak TK yang melihat hasil kerja temannya untuk menyontek. Tatapan pria asing itu benar-benar tajam.

Yonghwa berdeham lagi. “Kalau tidak ada apa-apa, saya akan kembali ke dapur, masih banyak pekerjaan yang harus saya kerjakan.”

Pria berambut pirang yang benar-benar terang itu hanya mengangguk singkat dan menjawab “ya,” yang tidak terdengar begitu jelas. Kemudian Yonghwa memohon diri dan meninggalkan kursinya. Meninggalkan serta pertanyaan-pertanyaan juga rasa penasaran. Tim benar, tamu mereka kali ini memang aneh. Benar-benar aneh.

***

 

Lima

Eternally

“Karena selamanya dan selama-lamanya memiliki arti yang berbeda.”

***

Cincin ini. Cincin sederhana dengan permata rubi kecil berbentuk hati di tengahnya, di jari manisnya. Summer tidak tahu kenapa ia masih berusaha mempertahankannya, seakan ia sedang mempertahankan semua kenangannya, impiannya, pertaruhan masa depannya, hanya pada sebentuk cincin itu.

Semua orang mengatakan pria itu sudah meninggal di medan perang. Yah, sudah berbulan-bulan sejak Max menelponnya, sekedar bertukar kabar dan memintanya untuk menunggu sebentar lagi. Pria itu berjanji setelah kontrak dan tugas militernya habis, ia akan mengundurkan diri dari angkatan darat, dan memulai kehidupan yang baru sebagai pria yang bebas bersama Summer. Mungkin mereka akan berwira usaha? Max mengatakan ia ingin sekali memiliki peternakan. Ide yang tidak buruk bagi Summer yang mencintai kedamaian, angin gunung di atas bukit, mendengarkan suara kuda-kuda di kejauhan bersama pria itu, terdengar… sangat menyenangkan. Sekaligus sangat jauh. Kabar tentang kematian pria itu menghancurkan semua khayalannya. Summer tidak ingin memercayainya, selama jasad Max belum ditemukan dan bisa ia lihat dengan mata kepalanya sendiri, ia tidak akan pernah mau memercayainya. Max akan kembali. Pasti. Sampai saat itu Summer hanya akan terus menenggelamkan diri dalam tumpukan buku-bukunya, berharap semua itu membantu meredam rasa sakit meski hanya sedikit, membiarkan dirinya tidak terawat, dan semakin dingin. Ia sudah menjadi gadis pendiam sejak dulu, namun sekarang ia menjadi gadis pendiam yang mengerikan. Tidak ada yang mau menjadi temannya ataupun mau ia jadikan teman. Tidak ada.

Summer memejamkan mata dan memasang kembali cincinnya. Seharusnya ia tidak boleh lama-lama menatap cincin itu—cincin yang hampir menjadi cincin pernikahannya—atau ia akan menangis. Dan ia tidak ingin menangis di sini, di tempat orang lain bisa melihatnya. Gadis itu mendekap bukunya lagi dan berdiri, meninggalkan bangkunya, bangku taman paling ujung dimana ia duduk sendirian. Sepagian itu sudah mulai banyak mahasiswa berdatangan, dan itu bukan lagi tempat Summer, ia akan mencari yang lebih sepi.

Ray menatap gadis itu dari bangku lainnya. Ternganga antara takjub, atau apa, Synne maupun Serra tak pernah habis pikir. Pria itu tidak bergeming meski Summer sudah jauh pergi. Ia baru sadar saat Serra mencubit pinggangnya.

“Aw!” protesnya, yang segera ia telan kembali begitu melihat pelototan galak Serra. “Owh, sampai mana kita tadi?”

“Sampai ayolah pergi Sabtu ini lalu tiba-tiba kau mengabdikan diri menjadi patung kampus saat melihat gadis aneh itu,” ucap Serra kesal.

Ray hanya nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya seperti orang kutuan. Atau memang benar ia menyimpan kutu di balik rambut pirang storberi keritingnya yang super lebat itu? Siapa tahu.

Pria itu berdeham, coba kembali ke topik. “Yah. Ayolah, Synne. Kita pergi makan pizza jumbo di sana! Serra yang traktir, kau santai saja!” seketika, Serra melotot mendengar keputusan seenaknya Ray yang sedang mencoba membujuk Synne agar mau ikut. Mereka berencana menghabiskan akhir pekan ke Pizza Express dan bukanlah hal lumrah saat Synne menolak bergabung, apalagi Ray tadi sudah menegaskan bahwa dia akan ditraktir, gadis itu biasanya akan melaju lebih cepat daripada truk, tapi sekarang… ia masih menggeleng.

Hampir satu jam, dan bujukan itu masih belum berhasil.

“Aku benar-benar tidak bisa. Sorry.”

“Kenapa, huh?” rengek Ray. “Jangan bilang kau ada kencan!”

Synne menyengir, pipinya merona samar. Yeah, Serra dan Ray memang belum tahu soal Yonghwa, bukannya ia tidak setia kawan atau bagaimana, tapi… ia hanya tidak siap bercerita topik jenis ini pada dua orang itu. Alasan pertama karena mereka berdua pasti akan mengejeknya habis-habisan. Dan yang kedua, karena ia bukan tipe gadis yang bisa membicarakan perasaannya dengan mudah saat bertatap muka.

“Konyol, Ray!” dengus Serra sebelum Synne sempat mengaku. Oh, yang benar saja. Bahkan fakta bahwa seorang Synne Choi yang urakan bisa mendapat pacar terdengar lebih mustahil daripada takhayul.

***

“Aku sakit perut!!! Astaga! Bagaimana ini?!” Synne berguling di kasur, kali ini sambil menjaga agar tatanan rambutnya yang sudah diroll dan disisir sebaik yang ia bisa tidak kembali berantakan. Juga, agar gaun cantik satu-satunya yang ia punya itu tidak kusut.

Oke… tarik napas… buang. Tarik… buang. Synne mencoba menerapi dirinya sendiri, meredakan mulas karena gugupnya yang menggila. Ini hanya kencan biasa kok. Iya, kencan. Baiklah! Ia akan berkencan dengan Shin Yonghwa dan itu bukanlah suatu hal yang biasa-biasa saja. Memang mereka sudah menjalin hubungan selama dua tahun, tapi berkencan secara khusus adalah peristiwa yang cukup langka, dan entah bagaimana Synne selalu tidak berhasil mengendalikan diri dengan baik jika bertemu pria itu, setelah dua tahun sekalipun.

Ia melirik jam dinding yang mengabarkan bahwa tidak lebih dari dua puluh menit lagi pria itu akan datang, sehingga sakit diperutnya juga datang semakin bertubi-tubi. Astaga, bagaimana bisa pria itu terus membuatnya sesak napas?!

“Aku harus bagaimana?” Synne merengek. “Aku tidak siap. Tidak pernah—“

Bel ruangan berbunyi tiba-tiba, mengagetkannya, menimbulkan sensasi seperti jantungnya berhenti untuk jeda yang singkat sebelum akhirnya menambah kecepatan detaknya menjadi setidaknya dua kali lipat. Ada tamu yang datang, dan entah bagaimana, ia punya firasat yang tidak bisa dibilang mengenakkan.

Kuharap itu bukan dia, batinnya berharap, namun tidak senada dengan perasaannya, otaknya berpendapat pria itu memang datang lebih cepat dari janji, seperti biasanya. Terbukti, otaknya yang jujur memang benar. Saat ia membuka pintu, saat itu juga Synne membeku. Shin Yonghwa berdiri di depannya, dekat sekali, berbau parfum yang lebih mirip bau lemon, tersenyum manis dengan mata yang sendu, dengan kemeja putih berlapis jaket hitam, celana denim hitam, serta sepatu kanvas putih. Mengingatkan Synne pada alasan kenapa ia jatuh cinta pada orang ini saat pertama kali melihatnya, kedua kali, ketiga kali, dan seterusnya.

Masih sambil ternganga—ia merasa begitu, namun tidak punya cukup kemampuan untuk menutupnya—dan Yonghwa yang masih sambil tersenyum misterius dengan kedua tangan tersembunyi di belakang panggung.

“Tebak apa yang kubawa untukmu?”

Bunga? Kalung emas berlian? Synne berharap. Meskipun setelah menimbang singkat ia hanya mengatakan hal paling ekstrim yang terlintas di otaknya. “Bom?”

Otomatis, Yonghwa tertawa. Tergelak, malah. Mengacak rambut Synne sebelum tersenyum lagi.”Kau lucu. Tapi tebakanmu salah.” Lalu sebelah tangannya yang masih tersembunyi keluar, membawakan sesuatu yang berbungkus plastik transparan dan berwarna merah muda.

Permen kapas.

“Ini…”

“Kesukaanmu. Tapi jangan makan terlalu banyak. Nanti sakit gigi.”

“Menurutmu aku anak kecil?” Synne protes. “Kau bahkan tidak bermodal sekali dalam memberikan seseorang hadiah.” Karena permen kapas murah. Sangat sangat murah, apalagi jika dibandingkan dengan kalung emas berliontin berlian rubi seperti yang sempat Synne bayangkan. Tapi wajahnya tidak bisa membohongi bahwa jelas ia senang dengan hadiah itu. Makanan enak mungkin memang selalu bisa menjadi hadiah terbaik baginya, hanya jika ia bisa mengurangi rasa mulasnya setiap di sisi Yonghwa.

“Terimakasih,” gumamnya pada permen kapas, bukannya pada Yonghwa.

“Ayo pergi. Kau sudah berjanji akan membawaku jalan-jalan di London. Aku sudah tidak sabar!”

Seperti yang dikatakannya, dengan tidak sabar pria itu meraih tas tangan Synne, meletakkannya di bahunya, menguncikan flat Synne dengan kode yang sudah dihafalkannya, sebelum hal terakhir yang dilakukannya yaitu menggandeng Synne. Tanpa menyadari kekacauan yang diakibatkannya pada sistem peredaran darah di wajah gadis itu.

***

“Katedral?” Yonghwa bertanya untuk kedua kalinya dengan alis berkerut. Ia mengira Synne akan mengajaknya ke Menara London, Jembatan London, kebun binatang, taman bermain, istana kerajaan, atau setidak-tidaknya berjalan menyusuri sungai Thames. Kenyataannya, gadis itu malah menyeretnya pada sebuah katedral. Pada bangunan yang meski terlalu besar dan megah untuk disebuh ‘hanya sebuah bangunan’, tetap saja ini adalah sebuah gereja raksasa. Agak sulit diterima akal sehat bahwa Synne itu adalah seseorang yang agamis, makanya Yonghwa merasa benar-benar tidak percaya gadis itu akan membawanya kemari.

“Ya. Katedral St. Paul yang benar-benar keren!” imbuh gadis itu bersemangat.

“Apa yang bisa kita lihat di sini?”

“Banyak.”

“Apa saja?”

“Hal-hal klasik yang menurutku romantis. Ayo, masuk saja dan kau akan tahu!”

Pengunjung Katedral sedang ramai-ramainya hari itu, mengingat itu adalah akhir pekan. Ada serombongan murid sekolah menengah atas yang mengadakan semacam studi tur di sana. Kumpulan besar lainnya adalah jamaah gereja dari daerah country yang terdiri dari orang-orang usia lanjut. Pengaruh ramainya pengunjung, suasana tenang yang dibayangkan Synne jadi sedikit agak dirusak oleh bisik-bisik ribut dan dengan banyaknya orang berlalu lalang ke sana kemari.

Arsitektur Katedral St. Paul yang mengagumkan sanggup membuat Synne nyaris ternganga sepanjang penelusurannya. Kubahnya yang tinggi dan indah, ukiran-ukiran klasik yang menceritakan sejarah panjang di dindingnya, semuanya menunjukkan kejayaan besar jaman itu. Semuanya mengundang Synne untuk berdecak dan histeris sendiri, kadang-kadang. Sementara Yonghwa juga sama terpananya, hanya saja oleh subjek yang berbeda. Gadis itu, gadis itu entah dengan cara apa selalu berhasil membuatnya merasa kagum dan sulit memperhatikan hal lainnya. Meski semua orang mengatakan tidak ada yang bisa dilihat dari gadis kecil kurus kering ini, nyatanya tidak ada yang baginya indah melebihi gadisnya ini.

“Ayo naik! Aku akan menunjukkanmu Wishpering Gallery.”

Synne, masih dengan tangannya yang berada di genggaman Yonghwa mengajak pria itu untuk menaiki sebuah tangga berputar yang rendah dan benar-benar sempit, bahkan dua orang kurus harus berdesakan jika berjejal di tangga yang sama. Untuk mencapai Whispering Gallery, satu dari tiga gallery di katedral St. Paul ini, kau harus meniti sebanyak 257 anak tangga, jumlah yang kedengarannya terlalu spektakuler untuk bisa dinaiki Synne.

“Baiklah. Tapi aku mau ke toilet dulu. Apa kau tidak apa-apa?”

“Oh, ya. Tentu saja.” Synne mengangguk-angguk. Matanya sibuk memperhatikan lukisan dinding yang menggambarkan orang-orang jaman dulu dengan pakaian gaya romawi dan gambar seekor naga—setidaknya Synne menyimpulkan itu adalah gambar naga.

“Mau ikut?”

Synne mendongak cepat, dengan begitu ia bisa segera menemukan Yonghwa sedang menatapnya jahil. Ia mendengus dan mencubit pinggang pria itu. “Yang benar saja! Aku harus menumbuhkan kumisku dulu kalau begitu!”

Sambil tertawa kecil, pria itu menunduk di samping Synne, berusaha mensejajarkan posisi kepalanya dengan kepala gadis itu yang ditopang tubuh pendek. Posisinya dekat sekali, hanya saja karena gadis itu telah bisa tenggelam dalam kekagumannya pada interior katedral, dan sedang sibuk memperhatikan pahatan halus di setiap interior dinding sampai tidak menyadari apapun.

“Yeonnie?”

“Ap—” Synne menoleh, yang secara teknis dan melalui perhitungan cermat, menyebabkan bibir gadis itu mendarat di tempat yang salah—bibir pria itu. Meski dalam waktu yang keterlaluan singkat, karena Synne segera terhuyung-huyung mundur saking kagetnya. Mata malaikat Yonghwa yang teduh itu sekarang berkilat-kilat jenaka dengan senyum sepanjang pegunungan Alpen, sesaat sebelum ia berjalan mundur dan melambai.

“Aku pergi dulu. Bye-bye! Jangan hilang!”

Perlu waktu bagi Synne untuk menormalkan diri, dan sepertinya itu tidak berhasil, setidaknya ia bisa sadar saja sudah cukup. Gadis itu meraba bibirnya, mengingat-ingat bagaimana rasanya dan pada akhirnya hanya tahu bahwa seluruh organnya tidak bisa merasakan apa-apa, ia mati rasa dadakan. Kemudian Synne celingukan, mengingat Yonghwa mengerjainya di waktu yang salah dan tempat yang salah. Bagaimana jika ada anak kecil atau orang siapapun memergoki mereka?! Akan sangat memalukan! Synne meneliti setiap orang di sekitarnya, sepertinya aman, sepertinya tidak ada yang menyadari, orang-orang tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing. Lalu tiba-tiba pandangannya menumbuk seseorang di balik kerumunan orang-orang lainnya. Seseorang yang terasa familiar namun ia tidak tahu kenapa.

Pria itu berdiri di sana. Jangkung dengan tubuh mirip model-model majalah, tidak tampak terlalu besar karena otot, cenderung kurus namun atletis, maskulin. Rambutnya pirang cerah seperti rambut Alexandra Stan, dan tersisir rapi, rapi sekali. Memakai kemeja hitam yang digulung sampai siku dan tangan diselipkan di kantung celana hitamnya. Pria itu tampak kontras dari semua yang ada di sekitarnya. Tampak bersinar sendirian. Mungkin… katedral dan orang-orang di dekatnya terasa tidak cukup masuk akal bagi keberadaan pria itu. Ia terlalu tampan untuk ada di sini.

Tanpa sadar Synne tidak bisa berkedip menatapnya. Ya ampun, kenapa ada pria setampan itu? Dia tampan dan sekaligus manis. Lihatlah alisnya, matanya, hidungnya, bibirnya… tampak sampingnya mengalahkan pahatan patung dari profesional sekalipun. Gadis itu sumringah dengan penemuannya, menyengir dalam hati. Bagaimana bisa ia masih mengagumi pria lain saat ia sedang berkencan? Tapi itu wajar, kan? Semua orang melakukannya. Walaupun ia tahu ia tidak akan berpaling dari Yonghwa semudah itu. Dan bersyukur, pria jenis pria pirang berkemeja hitam yang rupawan tadi tidak mungkin akan tertarik padanya apalagi menggodanya, jika ya, ia akan kesulitan menolak. Pria seseksi itu!

Gadis itu hanya tidak sadar, bahwa sebenarnya Dimitri memerhatikannya sebanyak yang tidak bisa ia bayangkan, setiap waktu, meski sekarang harus hanya dengan sudut matanya, agar gadis itu tidak merasa aneh atau takut lalu pergi. Meski ia harus menyamankan diri dengan suasana katedral yang baginya berbau Rumah Sakit, berbau kematian. Ya, makhluk terkutuk sepertinya tidaklah pantas untuk berada di sana, semua yang berhubungan dengan keTuhanan hanya akan membuatnya tersiksa, karena ia hanyalan keturunan dari pembangkang. Namun kenyataannya ia bertahan di sana lebih lama dari ia atau makhluk mana pun bisa perkirakan. Demi Synne. Ia hanya ingin melihat gadis itu untuk alasan yang tidak ia ketahui, meskipun itu sama artinya dengan menyiksa diri, sekaligus membuatnya marah, mendidih, dan ingin mengamuk dengan tambahan fakta bahwa Synne bersama pria itu. Selalu ada manusia sialan itu di sekitar blackrosenya.

“Merindukanku?” Synne terlonjak. Tahu-tahu Yonghwa sudah ada di belakangnya lagi.

“Kau cepat sekali? Kau membersihkannya, kan?”

“Apa maksudmu? Aku takut kau hilang makanya buru-buru.”

YAK! Yang benar saja!”

Synne melayangkan tangannya di udara, bermaksud untuk menonjok lengan Yonghwa, yang sialnya ditangkap pria itu dengan sangat sigap sampai hanya berakibat pada tubuh Synne yang menjadi oleng karena sergapan tiba-tiba itu. Ia pasti sudah jatuh seandainya saja Yonghwa tidak cepat menahan pinggangnya.

“Aku heran kenapa Tuhan menciptakanmu lemah sekali, Yeon. Aku harus bekerja keras untuk melindungimu.”

“Oh, diamlah!”

***

Sepanjang perjalanan wisata mereka di katedral, Synne tidak ingat kapan Yonghwa pernah melepaskan tangannya saat mereka berjalan bersama-sama. Mungkin tidak pernah. Kerumunan orang yang banyak dan kadang menyelip di antara mereka membuat pria itu harus mengawasinya dengan esktra. Akan memalukan bukan jika tiba-tiba ia mengumumkan hilangnya Synne seperti anak hilang?

“Ayo~” gadis itu merengek lagi. “Aku benar-benar ingin naik sampai ke Whispering Gallery, lalu Stone Gallery, bahkan sampai Golden gallery! Katanya pemandangan di atas sana benar-benar indah. Bayangkan kau bisa melihat seputar London dari ketinggian. Aku belum pernah ke sana,”

Yonghwa menghela napas, menegaskan bahwa ia lelah yang sebenarnya hanya dilebih-lebihkan.

“Kau hampir dua tahun di Inggris bagaimana tidak pernah naik ke sana?”

“Makanya aku mengajakmu. Memangnya aku punya seseorang yang bisa diajak naik ke sana?”

“Tapi ada total lima ratus dua puluh delapan anak tangga. Kau sanggup, memangnya?”

Synne mencebik, tahu pasti bahwa pertanyaan jenis ini akan diajukan padanya. “Karena itu aku mengajakmu. Paling-paling aku merasa ingin pingsan di tangga ke seratus. Itulah gunanya punggungmu, kan?” kata gadis itu sambil menyengir penuh intrik.

Yonghwa hanya mencibir. “Memangnya aku mau mengangkutmu. Aku hanya perlu meninggalkanmu di sana dan semuanya akan beres.”

Yak!” teriak Synne protes. “Kau tega?” rajuknya.

“Tentu saja!” Yonghwa tertawa sambil mengacak rambut Synne. “Baiklah. Ayo naik!”

“Kalau aku lelah kau akan meninggalkanku?”

Dengan telunjuk menopang dagu, Yonghwa memasang pose berpikir. “Kita lihat saja nanti.”

Sambil tersenyum—dengan senyumnya yang melumpuhkan lutut itu—pria itu menarik pergelangan Synne lagi, mengajak gadis itu untuk berjalan maju seirama dengannya, meniti satu persatu anak tangga yang berkelok melingkar itu. Tidak berniat melepaskan genggamannya. Hanya saja, karena tangga yang terlalu sempit itu, Synne terpaksa di belakangnya, karena gadis itu tidak pernah suka berjalan di depan. Dan hanya saja, hal-hal yang di luar pemikiran dan di luar kemampuan manusia, kadang terjadi tanpa dapat dicegah.

Melewati lebih dari tujuh puluh anak tangga, Synne yang lelah—dan memang gampang sekali lelah—masih belum mau mengatakan apa-apa pada pria di depannya, hanya terus memaksakan kakinya yang pendek untuk terus bergerak naik. Lalu, tanpa peringatan, pusing itu datang di bagian belakang kepala. Seolah ada tangan tak kasat mata sedang menariknya kuat untuk terjungkal, bahkan nyaris menarik kesadarannya juga.

Kejadiannya begitu cepat sampai kau tidak sempat mengedipkan mata. Synne terjatuh ke belakang, dan akan jatuh berguling membentur setiap anak tangga di bawahnya jika saja seseorang tidak menangkapnya begitu cepat, terpaut dua anak tangga di belakang Synne. Orang itu Dimitri. Dimitri yang mengawasi gadis itu dari jarak terlalu jauh untuk ukuran manusia. Hanya refleksnya yang sangat bagus, yang membawanya berdiri di belakang gadis itu dan menyelamatkannya di detik yang tepat. Karena ia bukan manusia yang tidak berguna itu. Oh, keparatlah pria itu. Pria yang mengatakan ia akan melindungi Synne, blackrosenya. Sekarang apa yang terjadi?

“Yeon?” Panik, Yonghwa segera menghampiri mereka, meraih lengan Synne yang saat itu saking syoknya tidak bisa mengatakan apa-apa, bahkan tidak bisa mengerakkan diri.

“Kau tidak apa-apa?”

“Bodoh,” sinis Dimitri. “Dia hampir mati. Apanya yang tidak apa-apa?”

Yonghwa tidak menjawab. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain terkejut, dan merasa aneh. Sesaat ia memperhatikan pria bule di depannya. Pirang, tinggi, dan tidak asing. Sayangnya ia lupa dimana pernah melihat pria ini, karena pria berambut pirang cerah seperti dirinya ada banyak sekali di seluruh Inggris Raya ini. Namun wajah itu, Yonghwa yakin pernah melihatnya setidaknya sekali waktu.

“Jaga dia baik-baik,” pesan Dimitri sebelum melangkah meniti anak tangga di hadapannya dengan langkah anggun dan terkesan ringan. Meninggalkan Yonghwa dengan pertanyaan di kepalanya, dan Synne dengan keterkejutannya.

Yonghwa memeluk gadis itu lebih erat, mengelus punggungnya, coba memulihkan gadis itu. “Aku minta maaf, Yeon.”

Synne tidak mengatakan apa-apa. Wajah pria itu masih melekat jelas di benaknya, tidak mau pergi dan ia tidak punya penjelasan kenapa. Ia tahu itu sangat tidak masuk akal. Karena ia sadar tidak ada orang dalam jarak dekat dengannya ketika mereka menaiki tangga ataupun saat ia merasa akan jatuh, tapi pria asing itu tiba-tiba muncul. Pria yang tidak benar-benar terasa asing, anehnya. Ini bukan hanya tentang pria yang sempat ia kagumi di lantai dasar katedral tadi, bukan. Sekarang ia ingat wajah itu, tatapan itu. Mata yang sama dengan yang menatapnya begitu intens selama sepersekian detik saat di perpustakaan. Mata yang sama dengan yang menurut perasaannya selalu mengikutinya belakangan ini. Dan itu di luar nalar. Sama sekali.

Siapa… sebenarnya pria itu?

***

“Aku… aku akan mati,” Synne otomatis terduduk di lantai begitu kakinya berhasil menapak Whispering Gallery secara dramatis dan penuh syukur.

Yonghwa duduk di sisinya, menyorongkan sebotol air mineral dan mengeluarkan tissue dari tas Synne—tissue yang ia masukkan ke dalam tas gadis itu karena gadis itu sering lupa membawanya dan kerepotan saat tiba-tiba membutuhkan—dan mengelap keringat yang mengucur di kening Synne. Wajah gadis itu pucat sekali sekarang. Benar-benar, ia hanya naik separuh dari seluruh anak tangga, namun sudah seperti disuruh lari maraton seratus kilometer.

“Kau tidak apa?”

“Aku baik-baik saja. Hanya perlu istirahat.”

“Astaga. Yang begini mau naik sampai ke Golden Gallery?”

Synne mendelik, sindiran Yonghwa menusuk perasaannya sekaligus membakar semangatnya. Dengan segera ia berdiri, meraih pergelangan Yonghwa untuk ikut berdiri bersamanya.

“Ayo! Kita sudah sampai di Whispering Gallery!” ujarnya dengan tangan dibuka lebar, menunjukkan pada Yonghwa betapa hebatnya tempat itu. “Ada yang ingin kusampaikan padamu.”

“Apa?” Yonghwa mengernyit.

“Hal-hal yang tidak pernah bisa kusampaikan secara langsung. Kau akan tahu nanti.”

Ada sebuah tembok di galeri itu, dimana dikatakan bahwa jika kau berdiri menghadap tembok, dan mengatakan sesuatu, ucapanmu akan terdengar oleh orang yang berdiri di seberang tembok. Itulah kenapa galeri itu disebut Whispering Gallery. Di sanalah Yonghwa dan Synne berdiri sekarang, menghadapi tembok yang sama namun tidak bisa saling melihat, namun bukan berarti tidak bisa saling mendengar.

“Yonghwa-ssi, dengarkan baik-baik, ya!” Synne melongok pada Yonghwa, yang terpaksa mengangguk untuk kesekian kali, sebelum kemudian Synne kembali ke tempatnya.

Synne berdiri di posisinya, merasakan tubuhnya mulai kaku, lalu berdeham.

“Ada hal-hal yang tidak bisa kukatakan padamu. Menatapmu membuatku kehilangan seluruh topik pembicaraan, aku tidak bisa melakukan apapun selain menjadi orang bodoh,” ujar gadis itu pelan. “Aku kesulitan bicara serius padamu. Aku kesulitan mengatakan perasaanku. Tapi kau tahu? Aku… aku menyayangimu.”

Synne merasakan suaranya bergetar. Pernahkah ia mengatakan ini pada Yonghwa? Rasanya belum pernah, aneh jika pria itu betah di sisi seorang gadis seperti ini, gadis yang tidak bisa mengatakan betapa ia menyukai pria itu.

“Aku menyayangimu lebih daripada laptopku, teddy bearku, permen kapas, London, film, novel… aku menyayangimu lebih daripada apapun. Aku menyayangimu dan ingin bersamamu selamanya. Aku tahu ini tidak masuk akal, tapi aku ingin bersamamu selamanya.”

Jemari gadis itu meraba tembok. “Kau mendengarku? Jika kau mendengarnya… tolong jangan mengatakan apa-apa. Aku… malu,” ujarnya yang diakhiri bisikan. Rona merah menjalar di wajahnya. Sial, ia lupa memikirkan apa yang akan dikatakannya nanti saat tembok ini sudah tidak ada? Saat ia bisa melihat dan mendengar suara pria itu secara langsung. Apa yang harus dikatakannya?

Dan saat itu tiba. Saat Yonghwa yang berdiri di seberangnya, terpisah oleh tembok mulai berjalan ke arah Synne dan menampakkan diri. Synne tidak bisa memprediksi apa yang akan dikatakan pria itu, ia tidak bisa membaca apapun dari raut wajahnya. Hanya, pria itu terus berjalan. Terus mendekat. Lalu, ketika jarak mereka sudah cukup dekat, ketika Synne sudah berada dalam jangkauannya, pria itu tidak mengatakan apa-apa, melainkan merengkuh pinggang Synne dan memeluknya. Erat.

Tanpa mengatakan apa-apa, ia menyampaikan betapa ia takut kehilangan gadis itu.

Beruntung mereka tidak menengok ke atas, berbaring di atas tembok, posisi yang tidak normal bagi manusia, sebenarnya. Dimitri berbaring di sana, merasakan mendadak seluruh kemampuan bergerak dengan cepatnya menghilang. Ia tidak bisa bergerak. Hanya dengan mendengar kalimat gadis itu, yang berusaha ia sangkal bahwa itu untuk pria lain.

“Dan aku akan menyertaimu selamanya,” bisiknya. “Kau… akan bersamaku selamanya.

***

Enam

Demise

“Bisakah kau menitipkan menitipkan jantungmu pada seseorang?”

***

Synne berdiri diam di sudut setelah meletakkan headphone yang di sediakan untuk mendengarkan lagu di sana, merasa pusing setelah melihat-lihat begitu banyak koleksi CD lagu. Toko itu, ternyata tidak melulu menjual kaset CD, ada juga DVD, bahkan piringan hitam. Semua bersusun rapat di rak-rak sesuai genrenya; blues, soul, classic, ragae, R&B, New Age, Rock n’ Roll, dan banyak lagi. Ada juga yang dipajang di rak khusus, yang tampaknya limited edition atau barang langka. Sementara vinyl—piringan hitam—terletak di rak belakang. Synne sudah melihat-lihat judul-judulnya, dan akibatnya, merasa pening. Tidak ada satupun lagu yang ia tahu di sana. Bagaimana Yonghwa bisa menyuruhnya untuk bertemu di sini? Bagaimana pria itu menyukai jenis-jenis musik yang seperti ini? Maksudnya—jadi pria itu tahu lagu lain selain Gangnam Style? Dan itu sepertinya adalah tipe musik yang… katakanlah berkelas. Bagaimana itu mungkin terjadi?

Oh entahlah, memikirkannya membuat otaknya meleleh.

Hanya saja, demi membunuh waktu ia sempat menyibukkan berkeliling melihat-lihat selama hampir sekitar satu jam. Berusaha mengabaikan suasana yang terlalu lengang di sekitarnya hingga terasa aneh. Synne tidak begitu suka keramaian apalagi menjadi pusat perhatian, tapi sendirian di tempat asing—menjadi berdua dengan seorang pria penjaga toko berbadan besar—bukanlah sesuatu yang membuatnya nyaman. Ia tidak merasa toko itu terlalu buruk sehingga tidak di datangi pengunjung lain dalam kurun waktu satu jam seperti sekarang. Dan The Beehive seperti yang tertera pelang di depan toko sendiri memang berukuran relative kecil, tapi catnya yang merah cukup mencolok dan toko bukan terletak pada lokasi yang terpelosok, dia ada di Creek Road. Ditambah lagi, sebelah bagian dari The Beehive adalah toko pakaian. Jadi bagaimana bisa toko CD ini begitu sepi?!

Tidak ingin terlalu dipusingkan dengan toko dan vinyl-vinyl sialan yang tidak ia kenal itu, yang Synne lakukan kemudian hanya berdiri di sudut, di depan rak piringan hitam, memelototi ponselnya, melirik jam di wallpaper ponsel itu, dan mengetuk-ngetukkan ujung sepatunya ke lantai. Makin lama, ketukannya makin terdengar gelisah.

Demi Tuhan kenapa pria itu belum datang juga?! Padahal sejak komunikasi terakhir mereka, Synne masih sempat bermain game di laptopnya, mandi dan bersiap-siap, itu sekitar satu jam, atau lebih. Ia menghabiskan waktu setengah jam untuk berjalan dari Da Vinci Lodge—flatnya—hingga ke stasiun bus Charlton di Millennium Village Oval Square, berkendara selama Sembilan belas menit hingga tiba di Cutty Sark, kemudian berjalan kaki lagi ke College Approach hingga ke sini. Lebih banyaknya, ia membunuh waktu satu jamnya lagi dengan menjelajahi seisi The Beehive. Dan pria itu masih belum datang?!

Untuk ke sekian kali, Synne memeriksa pesan masuk di ponselnya, membuka pesan singkat yang Yonghwa kirimkan sekitar empat jam yang lalu. Memastikan otak dan penglihatannya tidak sedang mengkhianatinya kali ini.

“Kau bisa menemuiku di Toko CD The Beehive jam 9?”

“The Beehive toko CD dan pakaian itu?”

“Hm. Sebelumnya, kerjakan dulu tugas akhirmu.”

Yang dibalas Synne lagi dengan “Apa urusanmu dengan tugas-tugasku?”

“Karena kau cemerlang, dan harus terlihat seperti itu. Aku tidak ingin menjadi lumpur yang menutupimu”

Kalimat balasan yang tidak ada paksaan, membuat Synne kesulitan melontarkan sanggahan.

“Baiklah. Tapi bisakah kau menjemputku? Aku belum pernah ke sana, takut tersesat.”

Tidak bisa. Aku sibuk.

Seketika Synne meletakkan ponselnya. Senyum menghilang dari bibirnya. Ia benci sekali penolakan. Egois memang, tapi satu penolakan biasanya berhasil melukai harga dirinya hingga dalam. Alasan kenapa ia bertahan menyimpan perasaannya untuk pria itu sebelum akhirnya Yonghwa yang lebih dulu mengatakan perasaannya. Alasan kenapa Synne jarang sekali meminta macam-macam, atau mengatakan betapa ia menyukai pria itu. Ia takut di tolak. Dan sekarang, permintaan sederhananya sudah ditolak. Walaupun untuk alasan yang… yeah, Synne tahu pria itu akan sangat sibuk dengan pekerjaannya. Padahal… Synne juga memintanya karena punya alasan masuk akal. Haish, seakrang ia merasa ingin menangis.

Lalu, dengan buru-buru gadis itu mengetik balasan, memastikan terkirim sebelum akhirnya mematikannya.

Aku membencimu.

Ya, dia mematikannya. Baru membuat ponselnya turn on dua jam yang lalu sambil berharap ada banyak pesan dari pria itu. Kenyataannya, tidak ada satupun pesan masuk. Tidak ada satupun kabar.

Sekarang sudah lewat jam sepuluh dan pria itu belum menampakkan batang hidungnya. Padahal toko vinyl ini seharusnya sudah tutup dari tadi. Synne tahu, meski tampak berusaha tidak terlihat, penjaga toko berbadan besar dengan cambangnya yang lebat dan tak terurus itu memandanginya. Merasa risih, Synne pun memutuskan meninggalkan toko dan menunggu di luar, sebelum akhirnya sang penjaga toko memanggilnya.

“Nona?”

“Y-ya?” Synne menoleh takut-takut.

Pria itu menghampirinya, menyodorkan sebuah kaset CD. “Seharusnya aku memberikan ini untuk kau dengarkan saat hujan turun dan saat dia datang, tapi sampai sekarang dia belum datang dan aku harus menutup toko, jadi kuberikan ini padamu.”

“Dia?”

“Iya. Pria yang membooking toko vinyl ini.”

Synne mengernyit, merasa tidak percaya dengan pendengarannya. Pria itu menunjuk pada palang tulisan di pintu dan melanjutkan, “kau lihat? Sebelum dan setelah kau masuk, pelang itu akan menjadi tanda sudah tutup.”

“Kenapa?”

Pria itu mengangkat bahu, memberitahu Synne bahwa hanya itulah yang dia ketahui.

Synne menarik napas sulit di tengah udara ruangan yang mendadak terasa pengap. Bertanya-tanya apa yang terjadi hingga Yonghwa terlambat dari janjinya. Ia tidak pernah seperti ini. Apakah ia marah? Apakah ini sudah berakhir? Sudah puluhan kali juga Synne mencoba menghubunginya dengan hasil nihil. Sekarang ia hanya diam menunggu, sudah terlalu lelah dan kehabisan harga diri untuk mencoba terus mendapat kabar dari pria sialan itu. Yah, pria sialan. Yang dilakukan gadis itu sekarang tidak lagi hanya menunggu berharap pria itu cepat datang. Ia juga sudah mempersiapkan kutukan dan umpatan-umpatan terbaiknya. Ia hanya… tidak ingin melihat pria itu lagi. Entah berapa lama.

Gadis itu tidak mau repot-repot memperhatikan apalagi mengambil CD yang disodorkan penjaga toko. Ia hanya merapatkan mantel dan memegangi tali tasnya saat keluar dari ruangan dan menembus hujan. Persetan dengan hujan. Yonghwa dan hujan, mereka sama sialannya.

***

One hour before…

“Mr. Wood, boleh aku pulang sekarang?” Yonghwa tidak bisa lagi menyembunyikan kerut gelisah dan kesal di keningnya. Pasalnya, ia sudah membuat janji dengan Synne untuk makan malam. Seharusnya sekarang ia sudah berada di sana, bukannya terjebak di dapur dengan ratusan kerang-kerang untuk dibersihkan. Synne akan menunggu, ia mungkin akan kedinginan dan pastinya marah besar serta merajuk lebih-lebih. Padahal ia hanya ingin membiarkan gadis itu marah-marah sebentar sebelum memberinya kejutan. Namun sekarang…. Astaga, ia bisa gila!

Sekarang ia sudah menyelesaikan pekerjaan itu lebih cepat dari yang bisa siapapun lakukan. Demi janji itu.

Mr. Wood, kepala koki yang gendut itu memeriksa hasil kerja Yonghwa dan tersenyum puas. “Kau gesit sekali. Ya, kau boleh pulang. Terimakasih, ya.”

“Yah. Terimakasih, Mr. Wood!”

Pria itu masih mempertahankan senyumnya begitu Yonghwa meninggalkan dapur dengan cepat. Tidak membuang waktu, pemuda itu segera melepaskan apron, sarung tangan, dan topinya. Tanpa berganti baju, ia hanya memakai jaket sambil berlari ke luar restoran. Untuk teman-temannya ia hanya melambai dan meneriakkan “Aku duluan, ya!” yang tidak cukup jelas bagi siapapun. Siapa peduli. Sekarang ia hanya harus menyusun berbagai permintaan maaf, singgah membeli bunga dan permen kapas dulu demi menebus kesalahannya. Synne mungkin tidak akan menjambaknya atau melemparnya dengan vinyl atau bagaimana, hanya saja melihat wajah gadis itu yang bertekuk akan membuatnya serba salah. Menggemaskan, sekaligus mengerikan.

Ia berdiri di pinggir trotoar, berharap bahwa taksi cepat datang sehingga gadisnya tidak perlu menunggu terlalu lama. Ah, ya. Ia seharusnya menghubunginya, kan? Mengabarkan bahwa ia sedikit terlambat. Yah, ia meraih ponselnya di saku, kemudian melepaskannya lagi, membatalkan rencana pertamanya. Mungkin lebih bagus membuat gadis itu sedikit kesal di awal, demi kejutan selanjutnya.

Benar, kejutan.

Sebagai ganti ponsel, Yonghwa meraih dan mengeluarkan benda lain dari sakunya. Sebuah kalung. Dengan dua buah cincin kembar sebagai liontinnya. Ia… malam ini ia akan melamar gadis itu.

Tujuannya datang ke London, sebenarnya hanya untuk hal ini. Ia sudah meminta restu orang tuanya maupun orang tua Synne sebelum memutuskan terbang ke sini, mengakhiri kerinduannya yang terus menumpuk-numpuk hingga terasa sesak, hingga membuatnya merasa tidak bisa menunggu lebih lama dan berakhir dengan keputusan ini. Ia menyiapkannya sejak jauh-jauh hari, namun tidak pernah berhasil mengatakannya. Malam ini, ia sudah membayar sebuah toko piringan hitam agar dikosongkan untuknya. Yonghwa sudah berpikir keras untuk ini. Karena ia harus melamarnya dengan cara berbeda semenjak gadis itu adalah gadis paling spesial yang pernah dia temui.

Malam ini, ia harus bisa melakukannya malam ini.

Gadis itu. Adalah satu-satunya yang membuatnya berpikir untuk menikah, mengikat gadis ini di sisinya agar tidak kemana-mana. Adalah satu-satunya gadis yang ingin ia lihat setiap bangun tidur, gadis yang selama ini memenuhi otaknya setiap sebelum ia tidur atau bahkan saat ia melakukan apasaja. Adalah gadis yang ia ingin genggam tangannya puluhan tahun mendatang, saat mereka menyaksikan anak dan cucu-cucu mereka tumbuh dewasa. Gadis ini aalah jawaban doa-doanya. Gadis yang tidak akan ia tinggalkan dan tidak akan meninggalkannya. Ia tahu itu.

Bunyi klakson jalanan membangunkannya dari lamunannya. Ia menegok ke arah kiri jalan dan melihat taksi menuju ke arahnya. Hampir saja ia melewatkannya. Ia hampir mengangkat tangannya untuk menghentikan taksi itu. Kubilang hampir. Karena saat bersamaan sebuah tangan menahan gerakannya. Tangan yang dingin, terlalu dingin untuk ukuran manusia, jika saja Yonghwa menyadarinya.

Yonghwa menoleh pada orang itu, pria yang menahan tangannya tadi, pria yang ternyata pria yang sama dengan pria aneh yang memesan jantung di restorannya tempo hari. Dan pria yang sama, yang menolong Synne di katedral.

“Kau? Ada… apa, ya?”

Pria itu menatap kaku, yah, sama seperti kemarin.

“Aku ingin bicara denganmu?”

“Sekarang?” Yonghwa memeriksa arlojinya. Merasa dilema diam-diam. “Sekarang? Aku sedang terburu-buru. Aku ada janj—“

“Aku ingin bicara denganmu sekarang.”

Lalu tanpa menunggu persetujuan Yonghwa, pria tinggi dan pirang itu berjalan lebih dulu. Memaksa Yonghwa untuk mengikutinya. Dan benar, pria Asia itu memang mengikutinya.

Mereka berjalan dalam diam dan gelap. Ya, gelap. Seolah pria asing ini sengaja menghindari kerlap-kerlip sorotan cahaya lampu, ia lebih memilih jalan yang sepi di gang-gang sempit di bawah langit tanpa cahaya. Waktu berjalan terasa lama sekali. Yonghwa bahkan merasa putus asa, ia mengutuk diri kenapa mengikuti pria ini, bukannya memenuhi janjinya pada Synne? Tidak peduli seberapa banyak yang ia tanyakan pria itu juga tidak akan menjawabnya, tidak juga mencoba berhenti berjalan.

Jung Yonghwa sedang menimbang untuk memutar arahnya saja, menemukan jalan raya dan segera mencari taksi ketika akhirnya pria itu berhenti, berbalik, dan menatap Yonghwa dengan sorot paling dingin yang pernah pria itu rasakan. Ia merasa bergidik bahkan untuk alasan yang tidak ia ketahui.

Detik itu juga ia tahu, bahwa tidak seharusnya ia berada di situ, bersama pria itu. Sayangnya, detik saat ia menyadarinya, semua sudah tidak ada artinya. Terlambat untuk menghindar.

Yeon, mungkin aku akan terlambat, atau tidak datang sama sekali.

 

TBC

Posted in Fanfiction, The Dawn, YongHee couple

The Sundown [Sequel The Dawn] part 1

The Sundown

 

Note: Visuals aku taruh di ending kalo mau lihat fotonya, bantu2 buat bayangin aja, hehehe

***

 

 

Prolog

 

Chita, Russia.

Aku pulang, akhirnya. Aku sudah singgah pada setiap benua, nyaris ke seluruh negara, tapi aku tahu, aku akan selalu pulang. Aku akan kembali ke tanah ini. Tidak peduli betapa menyenangkannya di luar sana, seberapa manisnya jantung anak-anak dan orang Asia, aku pasti akan menemukan diriku dalam selang beberapa tahun—atau beberapa puluh—kembali lagi ke sini, dalam pribadi yang sama.

Aku menatap pantulan diriku di cermin. Aku mengantongi banyak identitas di saku jasku, menjadi pria mana saja, bahkan kadang wanita jika aku sedang iseng Melakoni berbagai peran dan profesi hingga mencapai titik didih kebosananku. Tapi wajah ini, mata biru langit ini, rambut pirang cerah ini, tampang yang sama dengan deret potret para bangsawan abad ke-13 ini, selalu akan kembali padaku. Bahkan nama yang sama. Thomas Kane, Elliot Smith, Zhao Qi Yuan, Abraham, Lee Jong Hyun, Victoria, semuanya adalah aku, idenditas palsuku. Tapi aku adalah aku yang ini. Namaku Dimitri, Dimitri Ivanov Vasilyevykh. Dan… aku bukan manusia.

Pernah dengar tentang vampire? Mereka tinggal di daerah Eropa Timur dan tidak pernah kemana-mana, bersembunyi dari manusia, hanya sesekali memburu yang tersesat di hutan atau berdamai dengan darah binatang. Tapi kami berbeda. Terutama aku, kami mencari makanan di tengah manusia, karena rasa binatang sungguh tidak enak jika kau sudah mencicipi bagaimana sedapnya jantung mentah, yang masih berdegup lemah saat kau menggigitnya. Benar, jantung. Serdtser, di Rusia orang menyebutnya begitu. Hanya orang-orang tertentu, pastinya. Karena rahasia kami begitu rapat di antara jumlah kami yang keterlaluan sedikit. Salah satu alasan kenapa aku selalu berburu sendirian. Alasan lainnya, adalah karena aku, tidak seperti manusia, aku tidak menyukai koloni. Teman hanyalah sesuatu yang merepotkan.

Tidak seperti vampire yang memilih bersembunyi, aku sudah berkeliling dunia hingga bosan. Tapi seperti kukatakan, aku selalu kembali ke sini, ke tempat ini. Karena di sini, tujuh ratus tahun sebelumnya, aku pernah jatuh cinta, sekali dalam seumur hidupku.

 

***

 

 

Satu

Butterfly

“Seperti kupu-kupu, perasaan damai ini tampak begitu indah sekaligus rapuh. Seperti kupu-kupu yang dapat terbang dengan mudah, dan jauh.”

***

London, UK.

“Menurutmu bagaimana hasilnya?”

“Kau mau bertaruh?”

Gadis itu menggigit bibir. Ia menyelipkan rambut sandy blonde bergelombangnya ke belakang telinga dan menatap pria di sampingnya lurus-lurus. Alisnya berkerut. “Entahlah. Aku… jujur saja, aku tidak yakin, Ray.”

Ray—seorang pria tinggi kurus dengan rambut keriting berwarna pirang stroberi dan pipi serta hidung yang hampir selalu merah sampai ke telinga—meluncur dari atas kap mobil yang mereka duduki. Ia berdiri tegak dan mengangkat bahu ketika menatap gadis itu kembali.

“Aku tidak suka mengatakan ini. Tapi aku juga.”

“Tapi aku berharap ini tidak benar. Aku ingin mendengar kabar baik.”

“Yeah, sama.”

Kedua orang itu saling bertukar tatap prihatin dan serba salah, yang jelas bukan ditujukan untuk satupun di antara mereka.

“Hei, itu dia sudah keluar!”

Gadis itu, Serra, mengikuti arah pandang Ray. Mereka melihat seorang gadis berukuran mini (mereka lebih senang menyebutnya begitu demi menggambarkan ukuran gadis itu yang cenderung kurus dan keterlaluan pendek) dengan rambut cokelat gelap yang dikuncir asal-asalan. Gadis itu memakai kaus lengan pendek berwarna cokelat—yang menegaskan bahwa ia kurus dan hampir rata—serta celana jins biru tua yang robek di bagian lutut. Oh, ini tahun berapa memangnya? Ia masih senang memakai jins jenis itu, mungkin jins yang sama dengan yang dibelinya lima tahun lalu. Ia mengepit setumpuk kertas di lengannya seraya ia berbicara pada seorang wanita setengah baya di teras kantor penerbitan itu.

“Jangan menyerah, ya. Kami akan senang menerima karyamu lagi.”

Wanita itu tersenyum, dan gadis itu tersenyum lebih lebar. Tapi Serra dan Ray sudah sepakat dengan kesimpulan mereka tadi. Senyum itu sama sekali tidak meyakinkan. Terbukti, ketika wanita gemuk itu kembali ke dalam, gadis itu secara drastis merubah ekspresinya menjadi semacam… depresi? Atau marah. Ia menendang kerikil dan berjalan tergesa-gesa menghampiri kedua rekannya.

“Bagaimana?” Serra yang sudah turun dari mobil menegarkan hatinya untuk mencoba bertanya. Gadis itu tidak menjawab, dan Serra maupun Ray sudah menduganya. Lampu hijau bagi penyakit frustasinya akan kambuh sebentar lagi.

Mereka menemukan gadis itu membuka pintu mobil dan membantingnya di belakangnya. Benar, kan? Ini alamat tidak bagus bagi Serra maupun Ray. Meski mereka terbiasa dengan mood gadis itu yang seperti gunung dan lembah setiap harinya, tetap saja ia mengerikan jika dalam kondisi begini. Ray mengikuti untuk duduk di samping gadis itu, perlu keberanian untuk melakukannya, sedangkan Serra mengambil tempat di belakang kemudi, seperti biasa—ia dan mobilnya yang baik hati rela mengangkut dua orang tidak bermodal itu kemana-mana.

“Bagaimana hasilnya?” tanya Ray lagi dengan santai, berusaha menciptakan situasi yang lebih rileks. Serra menggigit bibirnya lagi, dalam hati ia ingin sekali membenturkan kepala Ray ke aspal. Ia justru hanya akan membuat gadis itu tambah kesal, tahu!

“Synne?”

Terbukti, Synne—gadis itu—segera melempar naskah di tangannya ke pangkuan Ray. Ia mendengus kuat-kuat dan memandang jendela dengan gusar, seolah jendela mobil tak berdosa itulah yang telah membawa kesialan untuknya. Demi Neptunus! Mungkin ia memang sudah ditakdirkan selalu sial sejak dilahirkan. Mungkin… Mark, kakak laki-lakinya telah menguras habis semua jatah keberuntungan di perut ibu mereka dan membawanya bersamanya sewaktu dilahirkan, sehingga ia akhirnya menjadi idola papan atas di Korea sana dan diminati banyak wanita, berkebalikan dengan adik kandungnya, yang hanya ia sisakan jatah kesialan itu.

“Ditolak. Untuk ke—“ gadis itu menghitung dengan jari, “dua belas kalinya.”

“Uhm… Synne, aku turut kecewa,” lirih Ray dengan tampang menyesal yang sungguh-sungguh, tampak polos.

“Mereka hanya belum melihat bakatmu,” Serra menimpali.

Dan Synne, tidak menggeser arah pandangnya untuk menatap Ray atau Serra, memastikan seberapa tulusnya mereka—ia sudah tahu. Ia masih terus memelototi jendela dan menopangkan dagunya pada telapak tangan, mengetuk-ngetuk bibirnya dengan jari telunjuk.

“Mereka adalah orang-orang idiot yang tidak pernah mengerti seni! Mereka hanya mementingkan komersialitas! Lihat saja apa yang mereka terbitkan? Sampah. Cerita-cerita vampire itu… yang benar saja!”

Baik Ray maupun Serra bungkam dan saling bertatapan melalui sudut mata, tahu bahwa mereka tidak bisa menyangkal apa-apa atau Synne akan mengamuk. Jadi mereka memilih cara aman dengan mengangguk-angguk seperti Woody Wookpacker.

“Coba kalian bayangkan. Cerita tentang pria sok tampan yang hidup selamanya dan menggigit. Mereka menggigit dan menghisap darah! Ya Tuhan, bisa kau bayangkan seberapa menjijikkannya itu? Dan itu basi, sangat basi. Misalkan itu keju, pasti sudah tumbuh ribuan belatung menjijikkan di atasnya. Belum lagi karakter perempuannya, sok polos, sok lemah, padahal otak mereka dipenuhi hasrat untuk bercinta dengan vampire itu. Astaga! Membaca satu paragraf pertama saja aku sudah mual!”

Serra dan Ray masih setia mengangguk-angguk, sadar bahwa Synne berada dalam tahap korsleting tertingginya. Tinggi darah gadis itu mungkin sedang menyaingi tinggi menara jam Big Ben.

“Atau cerita tentang pria dingin dan kaku yang tampan tak manusiawi yang membunuh hanya dengan matanya. Pikir, apa itu masuk akal? Aku pasti tidak tahan berada dua menit saja bersamanya. Tapi kenapa semua gadis memujanya? Penulis-penulis kisah picisan macam itu pasti otaknya sudah bergeser.”

Atau otakmu yang sebenarnya sudah bergeser terlalu jauh, Synne, Ray membelot dalam hati. Serra mengangguk penuh persetujuan padanya, seolah ia adalah seorang pembaca pikiran.

Synne menghela napas panjang yang berat, seakan-akan sebongkah kerikil besar sudah disumpalkan di hidungnya yang lurus dan kecil. Ia sekarang menyingkirkan tangannya dan memutar leher agar menatap kedua makhluk khilaf yang bersedia menjadi temannya, meskipun hanya khilaf.

“Coba kalian katakan, dengan jujur, dimana kekurangan naskahku?”

“Kesalahan ketik.”

“Terlalu banyak istilah aneh.”

“Rumit.”

“Alurnya kacau.”

Serra dan Ray menjawab nyaris bersamaan, sehingga kalimat mereka menjadi tumpang tindih. Synne melayangkan tatap kematian terbaiknya.

“Ups, sorry, sobat,” Ray mengoreksi, “tapi begitulah… ceritamu terlalu… sulit dimengerti. Aku bertaruh, Prof. Jeff yang botak setengah itu pasti akan kehilangan seluruh rambutnya sampai tak bersisa hanya dengan membaca novelmu.”

Serra meringis, tepat setelah naskah tebal Synne mendarat manis ke kepala udang Ray. Ray itu… selalu keceplosan. Oh, ia merasa akan gila mempunyai dua orang teman aneh seperti dua orang di belakangnya ini. Synne yang bercita-cita besar menjadi penulis dan imajinatif, sayangnya, imajinasinya cenderung berlebihan dan menular hingga ke dunia nyata, dan Ray, pria ajaib yang kadang mulutnya lebih mengerikan dari seorang wanita, meskipun Ray tidak melambai dan Ray telah memiliki seorang wanita yang ia perjuangkan mati-matian. Ya, orang-orang sering salah menilai, mengira Ray adalah homoseksual hanya karena ia tidak pernah terlihat berkencan dengan gadis-gadis. Tidak seperti itu. Itu karena, pria aneh ini telah jatuh cinta untuk seseorang sehingga tidak bisa melihat gadis lainnya.

Synne adalah orang ajaib lainnya. Ia pemalas, itu adalah hal pertama yang bisa terpikirkan. Lalu ia pendiam dan cerewet sekaligus—pendiam dan jutek pada setiap orang asing dan mencereweti Ray dan Serra dengan hal monoton setiap harinya. Rendah hati dan sombong sekaligus—seperti tadi, tapi kadang ia juga begitu putus asa. Tapi menurut Serra pribadi, Synne itu adalah gadis yang manis.

Ia sendiri, pasti punya keajaiban sendiri sehingga memiliki dua sahabat aneh macam Ray dan Synne.

“Aku mau pulang,” cicit Synne, nadanya merajuk.

***

“Synne?”

Gadis itu berhenti di ayunan langkah kedua. Ia menoleh ke belakang dengan tampang datar. Dilihatnya wajah tirus Serra menyembul dari jendela di belakang kemudi.

“Kau yakin kau baik-baik saja?”

“Jangan bunuh diri, ya. Kumohon,” timpal Ray, rambut keritingnya memenuhi jendela di bagian belakang mobil.

Synne mendengus, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ia memutar lehernya kembali ke arah semula dan mulai berjalan cepat meninggalkan kedua sahabatnya yang menyebalkan itu. Yah, kadang, di saat tertentu semua orang bisa menjadi begitu menyebalkan bagi Synne, dan kedua sahabatnya tahu itu, mereka tidak keberatan. Gadis itu menekan tombol kode flatnya dan segera menghilang masuk tanpa permisi. Semua yang bisa ia pikirkan adalah tidur. Yah, jika orang berpendapat bir adalah cara terbaik melupakan masalahmu, bagi Synne jawabannya hanya ada dua; novel dan tidur. Masuk akal, bukan? Karena ketika kau tidur kau tidak perlu berpikir. Gadis itu masih ingat bagaimana bentuk dan keadaan kasurnya saat ditinggalkan—berantakan. Dan ia berniat sepenuh hati ia akan membuatnya lebih berantakan lagi, tunggu saja sampai ia menggulung diri di atasnya.

Gadis itu melangkah gontai dari lift menuju flatnya yang berjarak hanya beberapa meter dan menekan kata sandi dengan ogah-ogahan, seolah energinya sudah terkuras habis hanya untuk merasa emosi sepanjang perjalanan tadi. Dan yang tersisa sekarang hanya lelah. Matanya mulai mengantuk, dan ia sempat merasa salah flat setelah membuka pintu. Flat itu bersih. Ia mengucek matanya, dan memang benar-benar bersih, rapi. Oh Tuhan, ia hampir tidak mengenali tempat itu, kecuali lukisan-lukisan timbul pemandangan alam di dinding dan letak furniture yang masih sama.

Synne menanggalkan sepatunya dan melangkah ragu-ragu ke dalam, ke arah dapur. Ia segera bisa menemukan pria itu di sana. Memakai apron berwarna merah melapisi kemeja putihnya, dengan lengan kemeja di gulung, pria itu tampak sedang memotong sayuran atau apa dan memasak sesuatu di atas kompor. Synne memperhatikannya, rambutnya hitam pekat, tidak panjang tapi tidak cukup cepak. Pria itu tinggi namun tidak terlalu, 180 senti, kira-kira. Dan punggungnya… ia memiliki punggung yang bagus.

Synne tidak menyadari entah berapa lama dirinya menatap setiap gerakan kecil pria itu dari belakang, sampai akhirnya pria itu berbalik menghadapnya, meghadapkan dengan garis lurus matanya dengan manik mata Synne, yang sama-sama berwarna cokelat, hanya saja punya Synne sedikit lebih terang. Pria itu tersenyum manis.

“Hai,”

Synne mengerjap, merasakan disorientasi pada otaknya setelah melihat pria itu, dan melihat senyumnya. Ia berdeham pelan hanya agar dapat menemukan kembali suaranya.

“Hai. Kapan… kau datang?”

“Tadi pagi.”

“Kenapa tidak mengabariku?”

“Aku takut kau sedang kuliah. Aku tidak mau mengganggu.”

Yang benar saja, Synne mendengus dalam hati. Ia bahkan hanya sibuk mengobrol dengan Ray, atau mencoret-coret bukunya, atau berselancar internet, atau melakukan sesuatu apa saja dengan ponselnya setiap mengikuti mata kuliah. Apanya yang sibuk? Pria ini jelas punya pandangan berbeda soal pendidikan dengan yang Synne punyai, gadis itu kuliah demi memenuhi keinginan orang tuanya, tidak lebih. Selain Bahasa Perancis, Bahasa Mandarin, dan Sastra Inggris, tidak ada mata kuliah yang menarik baginya.

“Tidak apa-apa.” Synne tersenyum kikuk, dengan canggung ia mendudukkan diri di atas bangku tinggi dan melipat kedua lengannya di atas meja dapur.

“Kau lapar? Aku sedang membuat lasagna, kesukaanmu, kan?”

“Entahlah. Aku tidak ingin makan.”

Sesaat pria itu berhenti memasukkan sayuran ke dalam panci. Ia segera mematikan kompor dan bergerak mendekati Synne. Tatapannya terkunci sepenuhnya pada gadis itu.

“Apa yang terjadi?”

Synne menggeleng. Dan tatapan pria itu tidak berubah, malah semakin intens. Gadis itu menghela napas, ia tahu ia memang tidak akan pernah bisa menghindar. Matanya mulai basah dan wajahnya berkedut-kedut ingin menangis.

Pada akhirnya hampir selalu berakhir begitu. Ia tidak bisa menjadi kuat bersama pria itu. Shin Yong Hwa, pria ini adalah satu-satunya yang membuatnya menunjukkan sisi-sisi rapuhnya, yang mengeksplore sisi femininnya, yang membuatnya merendah dan sanggup menangis. Karena bersama pria ini, ia merasa… aman. Pria itu merengkuhnya ke dalam dadanya dan mengusap-usap rambutnya.

Aroma pria ini… masih sama, dan Synne tidak pernah menolaknya. Ia terisak-isak, lagi, pada orang yang sama. Menangis seperti balita dan tahu, pria itu tidak pernah keberatan.

***

 

 

Dua

Wind

Yang tidak terlihat, tapi ada. Yang diam disekitarmu tanpa kau tahu. Menunggu waktunya untuk berhembus.”

***

“Makan yang banyak,” Yong Hwa menyenggol piring Synne yang saat itu belum berkurang setengahnya dengan garpunya. Tersenyum begitu dihadapkan pada tampang cemberut Synne. Ah, Synne tanpa wajah kesal ibarat Sungai Thames tanpa jembatan dan terowongan, mereka sudah satu paket, tidak dapat dipisahkan.

Synne melirik kalender, mengernyit sekali lagi pada sosok Yong Hwa yang penuh senyum dan tampak hangat. “Ini baru minggu ke tiga, kenapa kau sudah datang? Kebanyakan uang, ya?”

Oh, ya. Yonghwa menetap di Seoul sementara Synne mengejar studinya di London. Mereka bertemu ketika gadis itu liburan ke kota kelahirannya—Seoul—mengunjungi keluarganya sekaligus menjemput takdirnya. Entah bagaimana sampai masing-masing bisa saling menyukai—mungkin mereka kelilipan waktu pertama kali bertatapan atau apa—tapi beginilah mereka akhirnya. Yonghwa datang sebulan sekali ke London, hanya sehari-dua hari atau bahkan hanya beberapa jam. Hanya demi melihat gadis itu.

“Kau mengusirku?”

Gadis itu mendengus, tapi tidak berhasil mengatakan apa-apa, mulutnya sedang terlalu penuh.

“Aku merindukanmu,” kata pria itu lagi, membuat Synne tersedak. Ia hanya tertawa kecil, puas akan hasil perbuatannya. Memperhatikan bagaimana pipi gadis itu merona, membingkainya, berusaha mneyimpan itu semua dengan rapi di kepalanya.

Synne menelan air putih banyak-banyak sampai merasa mual, ia tidak pernah suka air putih, tapi ditatap terus-terusan oleh orang yang kau suka dan membuat dirimu tampak konyol bukanlah pilihan yang lebih menyenangkan. Ia tahu ia merindukan pria di hadapannya ini teramat banyak. Ia ingin menahan pria ini di sisinya dan sanggup menghabiskan satu hari penuh hanya untuk menatapnya, hanya untuk meyakinkan diri bahwa pria ini memang nyata. Tapi ia juga tahu, ia tidak akan pernah mengatakan apa-apa. Tentang perasaannya, tentang menyuruhnya tinggal sedikit lebih lama, atau… tentang bagaimana ia merasa memiliki pria ini seperti bermimpi.

“Baiklah,” jawab gadis itu pelan, alih-alih mengatakan ‘aku juga merindukanmu’.

“Dan mulai saat ini kupastikan aku tidak akan terlalu merindukanmu lagi.”

“Apa?”

Synne mendongak otomatis dan menatap lurus pada manik cokelat gelap pria itu. Matanya yang cokelat terang hampir terlihat seperti kecewa sebelum akhirnya Yong Hwa menyorongkan alasan masuk akal dari pernyataannya.

“Aku akan tinggal di sini,”

Synne berharap ia sedang mengunyah sesuatu sehingga ia bisa tersedak, karena rasanya hampir sama seperti itu.

“Di… sini? Di London? Bagaimana dengan pekerjaanmu di Seoul?”

“Aku meninggalkannya.”

“Apa? Tapi… tapi menjadi koki kan sudah impianmu? Dan kau menjadi kepala koki di restoran besar itu!”

Yonghwa tersenyum, lembut, seperti biasanya. “Tidak apa-apa. Aku sudah mendapat pekerjaan baru di sebuah restoran, aku bisa mulai dari awal.”

“Dimana?

“The Duke. ”

“Oh, aku tahu tempat itu. Creek Road, kan? Serra pernah sekali mengajakku ke sana, katanya tempatnya nyaman dan makanannya enak. Tapi… kau serius meninggalkan pekerjaanmu?”

Yonghwa hanya mengangguk, sambil mengunyah makanannya pelan-pelan, dan—lagi-lagi—tersenyum. Ia makan dengan anggun. Tersenyum dengan anggun. Berjalan dengan anggun. Selalu tampak tenang apapun keadaannya. Bahkan mungkin jika badai katrina terjadi di dekatnya, wajahnya akan tetap sekalem itu. Dia pikir dirinya itu malaikat?

“Kenapa? Kenapa kau mau pindah? Pekerjaanmu sudah sangat mapan dan kau jelas menyukainya.”

“Pekerjaanku memang bagus, tapi tidak ada kau di sana. Aku ingin… berada di tempat yang ada Synne-ku, yang ada Yeonnie-ku. Lihat, kau itu bahkan terlalu lemah untuk ukuran wanita. Aku harus menjagamu.”

Synne mengutuk diri. Dia tidak perlu cermin untuk mengingat betapa berantakannya ia. Terutama saat ini. Kaus cokelat kusam, jins robek, rambut tanpa tersentuh sisir dan entah sudah berapa hari tidak pernah dibilas, wajah tanpa polesan make up apapun yang diperparah dengan bekas air mata lengket di pipinya. Seberantakan itu. Itu pun hanya tampilan luar. Apa kabar dengan sifat cengeng, tukang mengeluh, moody, galak, pencemburu dan sederet sifat buruk miliknya? Lebih-lebih, ia tidak pandai memasak apalagi membereskan rumah—Yonghwa yang membereskan rumahnya tadi. Sekedar untuk bangun pagi-pagi dan menyeret dirinya ke kamar mandi saja adalah hal yang nyaris mustahil gadis itu bisa lakukan. Jadi sangat mengherankan ketika ia mendapati Yonghwa tidak kemana-mana, masih di sana dan masih menatapnya dengan cara yang sama.

“Boleh aku bertanya sesuatu?”

“Ya?”

“Kenapa aku?”

“Hm?” Yonghwa memperlambat kunyahannya. Ia menaruh garpu dan sendoknya dan duduk lebih tegak, hanya agar bisa lebih fokus menatap gadis itu.

“Kenapa memilihku?” Synne mengulang. “Aku tidak cantik, tidak pintar, tidak kaya, tidak bisa memasak, tidak bisa bicara di depan banyak orang, bahkan… berdandan saja tidak bisa!”

Alis pria itu berkerut, Synne memperhatikan. Pria itu tidak langsung menjawab, ia menghabiskan makanan di mulutnya dan minum, untuk kemudian kembali menatap Synne.

“Kenapa kau juga memilihku? Pasti banyak sekali pria-pria menarik di London,” Yeah, banyak pria tampan di sini, mereka yang tidak akan tertarik padaku,sela Synne dalam hati. “Dan… kau tidak perlu bisa apa-apa. Aku akan melakukannya untukmu. Kau cukup tinggal di rumah, dan ada. Membuatku berpikir aku ingin pulang dan makan di rumah, aku tidak akan makan di luar, dan aku akan pulang tepat waktu. Asal ada kau.”

Tidak terhitung entah berapa kali sejak setengah jam terakhir Synne merasa ingin tersedak. Ia merasa ingin muntah, sakit perut, dan segalanya. Kedatangan pria ini, dan bersamanya, selalu berhasil mengacaukan tidak hanya sistem peredarah darah dan detak jantung Synne, tapi sistem pencernaannya juga.

“Dan aku bersyukur kau tidak berdandan saat keluar tadi,” lanjutnya, tangannya tergerak menjangkau beberapa helai rambut Synne yang melekat di pipi, membebaskannya. Saat itu Synne kembali menyadari bahwa pria ini memiliki lengan yang kokoh, sebuah lengan yang berjanji akan selalu melindunginya, seperti yang ia lakukan selama ini. “Kau akan melakukannya nanti, dan itu hanya untukku, kan? Saat kita sudah menikah.”

“Yakin sekali,” Synne mencibir, hanya itu yang bisa ia lakukan, guna mencegah wajahnya merona lebih-lebih.

Menikah, ya? Ia tidak yakin. Ia tidak pernah berpikir sejauh itu. Mark pasti akan menertawakannya sampai mulutnya robek jika mendengar Synne, adiknya membahas topik sensitif ini. Synne yang lebih seperti anak SMP ini, menikah? Yang benar saja. Pasti saat itu terjadi, London sudah pindah ke Afrika dan Korea Selatan sudah memenangkan piala dunia tujuh kali berturut-turut. Synne bahkan masih suka menangis seperti bayi.

Tapi pria ini… menatapnya membuat Synne menyadari bahwa kata menikah terdengar gampang, terdengar memikat. Ia ingin hidup bersama pria ini dan hanya pria ini. Dan menikah.

“Sudah selesai? Makanlah yang banyak.”

Perkataaan pria itu menginterupsi lamunan memalukan Synne. Gadis itu meringis, Yonghwa selalu menyuruhnya menghabiskan makanan yang jelas-jelas tidak bisa ia lakukan karena pria itu berada di sekitarnya. Sudah dikatakan, pria ini membuat eror sistem pencernaannya. Synne kemudian hanya mendorong agar menjauh piringnya, dan Yonghwa hanya tertawa atas tatap putus asa gadis itu.

Pria itu mengambil piring Synne bersama piringnya ke wastafel, menggulung lengan kemejanya lebih tinggi, dan mulai mencuci. Sekali lagi Synne dihadapkan pada punggungnya. Bagaimana bisa sebidang punggung saja bisa membuatnya terpesona? Tapi itulah yang terjadi. Ia selalu menyukai punggung pria itu.

Dia terlalu sempurna, kan? Karena dia sempurna… jadi apakah ini nyata? Apakah ia tidak sedang bermimpi? Synne mendapati dirinya terus bertanya hal yang sama. Ia tidak tahu kapan ia bisa percaya bahwa pria itu benar ada, bukannya hanya karakter fiksi yang ia ciptakan dan mulai menjelma karena ilusi semata. Ia bisa menyentuh pria itu, membaui aromanya yang selalu wangi, mendengar suaranya yang renyah. Semua itu terlalu nyata. Dan karena terlalu nyata, kadang terasa menyesakkan. Bagaimana jika… suatu saat ia kehilangan sosok ini? Akan sehancur apa?

***

Hujan mengguyur kawasan West Parkside sore itu, kali itu cukup lebat, membuat orang-orang malas bepergian, kalaupun harus pergi, mereka akan mengumpat sepanjang jalan. Synne yang tinggal di lantai dua mengangkut meja dan kursinya ke depan pintu kaca ganda yang menghubungkan ruang tengah dengan balkon dan menyibak tirai lebar-lebar. Ia selalu suka hujan, meskipun itu terdengar klasik. Ia tidak bisa duduk di balkon karena hujan disertai angin mungkin tempias sampai ke balkon. Ia duduk di sana, ditemani laptop dan segelas susu cokelat hangat dan lagu-lagu ballad koleksinya. Waktu yang sempurna untuk menulis, pikirnya sejak hujan mulai turun tadi, sampai sekarang.

“Tidak terasa hari sudah sore. Matahari mulai turun dan—Astaga! Kenapa ini terdengar seperti Teletubbies?!” gadis itu mendengus. Sudah satu jam ia berkutat dengan laptopnya, dalam waktu yang ia sebut sempurna untuk menulis tadi, yang hasilnya bahkan tidak sampai seperempat halaman. Ia sedang kesulitan mengkonsentrasikan diri.

Gadis itu melepaskan matanya dari laptop yang menjengkelkan untuk menatap ke horison timur, arah flatnya menghadap. Matahari memang sedang turun, menyisakan hanya semburat jingga di antara deret bangunan pencakar langit, yang berwarna lemah karena tertutup mendung dan bias hujan. Pemandangan yang cantik, sebenarnya. Pergantian siang dan malam, cahaya yang remang, Synne merasa bahwa saat matahari terbit dan saat matahari terbenam adalah sebuah keajaiban. Ia merasa mendapat inspirasi dan bersiap mengetik ketika suara aneh terdengar dari jalan di bawahnya. Sontak Synne melongokkan kepala, berharap melihat sesuatu di sekitar situ, namun tidak berhasil menemukan apa-apa. Aneh, ia yakin telinganya tidak sedang bermasalah ketika mendengar teriakan tadi. Ah, bukan. Itu bukan teriakan, lebih kepada… geraman, lolongan tapi menyerupai suara manusia yang begitu nyaring. Mau tak mau, itu membuatnya bergidik. Synne berdiri dan cepat-cepat menutup kembali tirainya saat seseorang mendekapnya dari belakang. Ia nyaris melompat kaget, sebelum akhirnya bernapas lega. Aroma ini… ia mengenalinya.

Jung Yong Hwa, meletakkan mug di tangannya ke atas meja, asap mengepul dan aroma susu cokelat panas menguar sedap dari sana. Masih dengan satu tangan menempel ketat di perut Synne, ia melayangkan tangan satunya yang bebas untuk menyentuh rambut gadis itu, merapikannya, dan merelakan sepersekian detik untuk membebaskan kedua tangannya guna menguncir rambut berantakan gadis itu. Kemudian kedua tangan itu memeluk Synne lagi, lebih erat. Yonghwa mengistirahatkan dagunya di puncak kepala gadis itu, bertanya-tanya kenapa gadis ini pendek sekali? Kurus sekali? Kecil sekali.

“Yeonnie?” panggilnya. Ia lebih senang memanggil gadis itu dengan nama kecil yang diambil dari nama Koreanya, Choi Yeon Hee. Dan Synne membiarkan pria itu sebagai satu-satunya yang memanggilnya begitu, ia akan selalu memperkenalkan diri sebagai Synne Annabelle Choi kepada semua orang.

“Apa yang sedang kau lakukan?” tanyanya dengan suara parau khas bangun tidur. Ia hampir tidak sempat beristirahat, sebelum sampai di sini.

“Menulis, seperti biasanya,” balas Synne, suaranya lebih tidak terkontrol.

“Aku membuatkanmu susu.”

“Aku sudah—“

“Kau membuatnya lebih dari satu jam yang lalu—aku belum terlalu tidur waktu itu—sekarang pasti sudah dingin. Jadi aku membuatkan yang baru.”

“Hm. Terimakasih.”

Hanya itu yang bisa Synne katakan. Dalam hati ia sibuk mensugesti diri agar tetap bernapas, karena jantungnya dan otaknya benar-benar lumpuh dengan perlakuan intens pria itu. Dia tidak sadar apa?! Dia bisa membunuh kekasih kecilnya ini kapan saja dengan semua hal manis itu.

Synne menggeliat kecil, ia ingin kembali duduk dan menulis, meski ia tahu seluruh fokusnya sudah buyar sekarang dan mustahil ia bisa melakukan sesuatu yang normal hingga beberapa jam mendatang. Tapi pria ini menahannya untuk tetap berada di pelukannya, dengan kekuatannya yang jelas jauh lebih besar itu. Synne tidak akan bisa kemana-mana.

“Kekasihmu datang jauh-jauh dan kau malah sibuk dengan laptopmu. Tega sekali,” gumam pria itu dalam suara merajuk dibuat-buat. Hanya satu yang bisa Synne sempat pikirkan; tidak cocok.

“Kau mau bagaimana?”

“Temani aku.”

“Aku di sini dan tidak kemana-mana dari tadi.”

“Haish, kau tahu bukan itu maksudku.”

Synne terkikik dan menahan diri mati-matian agar tidak tertawa lebar atau mengamuk, Yonghwa menggelitik pelan pinggangnya. Pelan saja, tapi pria itu tahu benar bahwa tubuhnya keterlaluan sensitif, satu sentuhan saja sudah berhasil membuat semua bulu di kulitnya berdiri, apalagi gelitikan. Pria itu meraih kembali mug susu cokelat, dan tidak melepaskan pinggang gadis itu saat menyeretnya menuju sofa.

“Di luar hujan dan dingin. Saat terbaik untuk menonton film.”

“Film?” Synne mengernyit. Ia bangkit dari duduknya dan mengambil beberapa keping DVD dari rak di bawah televisi. “Aku hanya punya ini. Naruto, Inuyasha, Samurai X, Detective Conan, Resident Evil, dan Harry Potter. Kau mau yang mana?” tanyanya sambil menyengir. Yonghwa mendengus dan tertawa. Ia tidak pernah mengerti dengan selera gadis itu, heran sendiri bagaimana bersemangatnya Synne setiap membahas anime, novel, atau film-film tidak lazim kesayangannya. Yah, tidak lazim bagi Yonghwa, dan yang wajar bagi pria itu selalu yang membosankan bagi Synne. Bayangkan saja, 2014 dengan ringtone Gangnam style, ia buta media atau apa? Ketinggalan jaman sekali. Untung saja ringtonenya bukan Arirang sekalian.

Yang membuat Synne takjub kemudian adalah, bahwa pria itu tidak protes, meski ia tidak mengerti sama sekali tentang Naruto. Atau memang ia tidak berusaha mengerti. Pria itu membiarkan Synne berteriak-teriak histeris melihat Uchiha Sazuke dan pertarungan-pertarungannya. Sementara ia menyandarkan kepala gadis itu di dadanya, memeluknya, dan berusaha menghafali aromanya.

“Yeonni-ya?”

“Hm?” Synne menggunakan remote yang tidak pernah lepas dari tangannya untuk memperkecil volume. Gadis itu mendongak, mempertemukan tatapannya dengan tatap teduh Yonghwa.

“Menurutmu… sampai kapan kita akan seperti ini?”

“Seperti… apa?”

“Seperti sekarang. Aku… bahagia. Dan aku sangat takut kehilangan kau.”

Aku takut kehilanganmu melebihi apapun. Lagi-lagi, Synne tidak bisa mengatakannya. Hanya memdekatkan posisi mereka dan menyamankan tubuhnya.

“Yeon?”

“Hm?”

“Aku menyayangimu.”

***

Dasar pemula bodoh. Pria berambut flaxen yang tersisir rapi dan licin ke belakang itu menyeringai sinis. Di bawah kakinya, tertelungkup seorang pemuda dengan jins dan jaket denim serta kaos yang koyak-koyak. Rambut hitamnya bercampur lumpur dan genangan air hujan. Ia masih memberontak sesekali, meraung keras, lalu diam dan menggeram halus karena lelah. Bagaimana pun ia berusaha meronta dengan sepenuh kekuatannya, pria tinggi dan langsing ini selalu berhasil menjatuhkannya kembali dan menindihnya hanya dengan kaki, kekuatannya benar-benar melebihi apa yang terlihat.

“Diamlah, Bodoh!” desis Dimitri.

“LEPASKAN!!! PANAS! INI PANAS! AKU HARUS MENDAPATKAN JANTUNG ITU! AKU LAPAR!!!”

Dimitri menurunkan pantofel hitam mengilapnya dari tengkuk pemuda itu.ia berjongkok di sisinya dan menjambak rambutnya. Pemuda itu menatapnya dengan mata merah membara. Ia muda, aromanya masih sangat hijau, Dimitri paling tahu tentang itu. Ini soal tampak luarnya yang memang muda, dua puluh hingga dua puluh lima tahunan, dan bagaimana ia, seorang manusia normal bisa menjadi seperti ini. Kejadiannya hanya kemarin, beberapa minggu atau bulan yang lalu, entahlah, Dimitri tidak pernah mau repot-repot memusingkan penanggalan versi manusia. Semuanya terekam jelas di benak Dimitri, karena ia, dialah makhluk terkutuk yang melakukan kekejian itu, menjadikan pemuda ini sama menjijikkannya dengan dirinya.

Flashback

Malam-malam dingin yang sama. Yang membosankan namun paling tidak merepotkan. Bunyi letusan keras dan desing peluru masih sesekali terdengar, kadang jauh, kadag begitu dekat, seolah di belakang telinga. Perang kecil sedang berlangsung. Dimitri mencoba menghibur diri dengan berburu di sana, tempat kadang-kadang ia bisa menemukan jantung-jantung yang dibuang-buang, berdenyut lemah dan sekarat, bahkan kadang hanya berupa bangkai. Hal itu bukanlah yang paling menyenangkan, tapi memiliki resiko yang minimal. Karena di sini, orang-orang tidak akan memedulikan mayat-mayat dengan dada sobek dan kehilangan organ jantung, mereka mungkin tidak bisa membedakan antara mayat yang rusak karena rudal atau granat, dengan mayat yang rusak karena perburuan makhluk yang bahkan tidak mereka percayai keberadaannya.

Di tempat itu, tepat di tapal perbatasan antara Rusia dan Ukraina, tempat dimana serombongan tentara berbeda kubu berjaga-jaga, dan tidak jarang saling menyerang hingga menumbangkan korban, mereka tidak mengira bahwa kenyataannya mereka telah menyumbangkan rekan mereka. Selayaknya burung pemakan bangkai, dalam kegelapan, sedikit menjauh dari tenda-tenda darurat para angkatan darat, Dimitri menyeret makanannya ke tempat paling gelap, menikmati jantung setengah bangkai itu dengan pelan. Persetan dengan bangkai! Tetap saja ini terasa sangat nikmat melebihi apapun.

Ia menyantap jantung itu pelan, yang tetap saja kemudian berubah rakus. Malam ini ia cukup beruntung dengan temuannya tanpa berusaha keras, ia malas berurusan lagi dengan aparat hukum karena kasus pembunuhan atau orang hilang. Masalahnya kasus itu menyebar lebih cepat daripada kemampuannya untuk menghabisi mereka satu persatu, jadi akan percuma.

Dimitri menyeka darah di sekitar mulutnya. Tidak cukup hanya satu jantung. Rasa lapar masih menguasainya setelah berhari-hari ia tidak berburu. Maka ia menajamkan penciuman dan pendengarannya, dan ia menemukannya. Seseorang yang terkapar lemah di semak, sama sekaratnya dengan korban pertama Dimitri sehingga ia bertaruh orang itu tidak akan memiliki pilihan lain selain mati. Dengan cepat ia menemukannya, lagi-lagi seorang personil angkatan darat.

“Jangan mati, Max. Tidak. Tidak, aku tidak ingin mati. Jangan sekarang, kumohon, Tuhan…” desis lemah pria itu menghentikannya.

Dimitri nyaris tersedak tawa. Ia melihat pria itu berlumur darah, kakinya dipastikan patah dan kepalanya setidaknya retak, dan yang paling parah… dadanya terkena hantaman tiga peluru berkaliber besar. Salah satunya menembus jantung. Ia akan mati beberapa detik lagi, Dimitri bersumpah. Tapi anehnya, anehnya pria itu terus melawan—mencoba melawan—takdirnya sendiri.

“Aku tidak ingin mati. Tidak. Jangan sekarang. Aku ingin hidup.”

Ingin tahu, Dimitri bergerak cepat sehingga tidak butuh satu detik bagi kakinya untuk berada tepat di samping kepala pria itu.

“Chto ty delayesh? —Apa yang kau lakukan?” tanya Dimitri dalam Rusianya yang ia pertahankan baku.

Menyadari kehadiran Dimitri, pria berambut dan mata gelap itu menggerakkan matanya menatap Dimitri.

Vy umrete—Kau akan mati,” kata Dimitri lagi.

Susah payah, pria itu membalas nyaris tanpa suaranya, namun Dimitri masih dapat mendengarnya sejelas dua orang normal sedang berbincang. “Siapa kau?” dalam logat British yang kental.

“Kau orang Inggris?Yorkshire, eh?”

Pria itu mengerjap, terkejut oleh dua hal; Pertama oleh kalimat Dimitri yang dengan cepat mengubah bahasanya, lengkap dengan aksen British yang kuat. Kedua, bagaimana ia tahu tentang kampung halaman pria itu?

“Aksenmu,” jelas Dimitri, sudah bisa menebak pertanyaan yang tidak disuarakan.

Pria itu mengernyit, rasa sakit kembali menderanya setelah kejutan aneh tadi.

“Kau bilang kau ingin hidup. Kenapa?”

Pria itu terbatuk dan memuntahkan banyak darah dari mulutnya. Ia kehilangan hampir seluruh tenaga dan segalanya, namun ia tetap memaksakan diri untuk bicara. “S-Summer.”

“Seorang gadis?” Dimitri menyeringai. “Aku bisa membantumu untuk hidup. Abadi. Tapi ini akan sangat menyakitkan.”

Nyaris tanpa berpikir, pria itu meraih kaki Dimitri, menciumnya. “Kalau begitu kumohon…”

***

Pemuda itu menggeram keras lagi, suaranya parau dan tersiksa, ia meronta sekuat tenaga dengan wajah—nyaris seperti—putus asa. Sakit itu mendera hingga ke sum-sum tulang. Dimitri mengerti, tapi ia tidak bisa melepaskan segelnya. Karena pemuda ini masih terlalu awam, terlalu liar, ia hanya akan berlari dan memangsa setiap manusia yang ia temui kemudian mati secara mengerikan. Dimitri, dengan wajah tenangnya, tersenyum separo. Urat-urat bermunculan dari leher hingga ke wajah pemuda itu, berwarna biru kehijauan. Bukan urat, sebenarnya. Itu Lirén. Segel. Hanya untuk menjaga pemuda ini tetap waras, tentu saja. Bagaimanapun, ia belum berumur tujuh belas seperti tradisi yang ditetapkan, dan di bawah umur itu, ia tidak bisa sembarang memburu jantung.

Yah, jantung.

Pernah mendengar tentang Shimggun? Di Korea mereka menyebutnya begitu, di Russia seorang pemburu pernah mengkodekan mereka dengan nama Serdtse-Lyudoyed, atau singkatnya Serdtser, dan setiap benua punya penyebutan yang berbeda-beda, sepertinya. Mungkin. Tolong jangan repotkan diri untuk mencoba mencarinya di wikipedia atau apa, bahkan google belum berkenalan dengannya. Karena ia… gelap. Sangat gelap. Tidak terdeteksi. Orang hanya akan melihatnya beberapa menit sebelum menemui ajal, dan biasanya mereka tidak tahu bahwa seseorang ini—makhluk ini—telah mencuri jantung mereka. Benar, sekali lagi, jantung. Mereka menjadikan jantung sebagai sumber energi, makanan pokok, penopang keeksistensian mereka. Mungkin… dongeng vampir itu tidak sepenuhnya salah. Di sini, dalam wujud sebenarnya, mereka sama abadinya, sama dengan wajah bangsawan nan rupawan miliknya, sama dalam hal kecepatan, sama dalam ketajaman, sama bencinya dengan matahari. Hanya saja mereka tidak ‘minum’, mereka ‘makan’. Dan pasti tidak akan ada yang tertarik tentang bagaimana proses mereka makan ini tadi. Tidak saat kau sedang atau akan makan, percayalah.

Dimitri menatap tajam pada mata merah yang memandangnya dengan nyalang itu. Kini, manik biru keabuan milik pria itu mengabur, menjadi lebih cokelat, lalu menghitam, hitam yang ada titik merah di tengahnya. Dan itu mengerikan.

“Ingat, Max. Demi siapa kau bertahan? Aku bisa melepaskanmu sekarang, membiarkanmu melakukan apapun yang kau suka. Tapi aku juga bisa menjamin, kau akan mati karena kerakusanmu. Dan kau tidak akan pernah bertemu dengan gadis itu. Summer.”

Summer? Summer. Bayangan itu mendera Max dengan cepat seperti air bah. Siluet samar-samar seorang gadis berwajah Kaukasia, teramat cantik dengan matanya yang hitam dan tajam. Rambutnya hitam lurus dan selalu tergerai, membingkai sebagian sisi wajahnya dengan aroma blueberry yang manis. Senyumnya langka, dan nyaris aneh—eksotis, di mata pemuda itu. Max tahu senyum itu teramat mahal. Senyum tipis dari seorang gadis introvert yang hampir tidak pernah bicara dengan orang lain. Itu senyum terindah yang pernah ia lihat, membuatnya bersumpah ia ingin melihatnya lagi dan lagi.

Summer. Summer adalah alasan Max masih berusaha untuk ‘hidup’ hingga saat ini, meski dengan cara yang tidak pernah ia bayangkan.

Perlahan, geraman itu mereda. Max menyerah melakukan perlawanan dan membiarkan rasa sakit membuatnya terkulai tak berdaya di atas kubangan air, disirami hujan yang membuat manusia manapun menggigil hebat jika berada dalam posisi itu. Dimitri di sisinya, berdiri tenang dengan tangan di saku, membiarkan matanya yang keterlaluan jeli memperhatikan jalanan kecil yang lengang itu. Tidak ada orang. Ini mulai gelap, dan hujan masih begitu deras. Semua yang berjenis manusia pasti memiliki beribu alasan untuk tinggal di dalam rumah, bergelung di dalam selimut, menghindari sakit dan hal apapun yang berbahaya di luar sana. Yah, bahaya. Saat gelap adalah saat semua bahaya yang bahkan tidak terduga mulai merayap bangkit. Termasuk makhluk pemburu jantung ini. Petang. Waktu favorit Dimitri.

Dimitri mengedarkan pandangannya melewati lantai dua Da Vinci Lodge, bangunan flat bergaya unik yang ada di depannya. Dan mendadak, ia merasa sesuatu yang hebat tengah menahannya. Ia membeku, namun tidak lama. Tirai jendela di ruangan itu sudah tertutup, sehingga Dimitri tidak bisa memastikan apakah benar yang ia lihat tadi.

***

 

 

Tiga

Immortal

“Angin tahu kapan untuk bergerak. Angin selalu bergerak, dan tidak pernah menghilang. Mereka… abadi.”

***

“Haaaaah, aku lapar sekali! Dan sangat mengantuk. Mata kuliah Prof. Watson tadi benar-benar menguras tenaga!” Synne bersungut-sungut begitu ia dan kedua rekannya menyusuri koridor luas setelah keluar dari kelas yang terasa pengap.

“Menguras tenaga, bokongmu?! Aku melihat kau sibuk memasukkan camilan ke mulutmu saat di botak tua itu sedang lengah,” sahut Ray sedikit sinis. Ia, yang selalu duduk di sisi Synne merupakan saksi mata setiap ulah gadis itu di dalam kelas, dan menikmati kudapan diam-diam saat kuliah sedang berlangsung adalah kegiatan favorit gadis itu. Yang benar saja! Bisa-bisanya ada gadis seperti itu.

Synne menyengir, “itu kan karena aku sangat mengantuk. Makan di kelas diam-diam itu membangkitkan adrenalinku, kau tahu?”

“Yah, terserah kau saja lah. Ngomong-ngomong, ayo ke McDonalds! Aku juga lapar sekali dan sedang merindukan burger jumbo.”

“Setuju!” teriak Synne. “Kau yang traktir, kan?”

“Apa?!” Ray melotot.

Sekali lagi, Synne menyengir polos dan menyikut Serra yang sedang sibuk dengan ponselnya. Gadis itu gelagapan selama sepersekian detik, sebelum akhirnya menyunggingkan senyum minta maaf.

“Ah, maaf Synne, Ray. Hari ini aku ada janji dengan Dean.”

Tepat setelah Serra menyelesaikan kalimatnya, seorang pria tinggi dengan otot besar-besar memanggilnya. Selanjutnya ia melambai dan mendatangi mereka begitu ketiga orang itu menoleh. Dean Smith. Synne mengenalinya sebagai cowok yang cukup populer di kalangan gadis pesolek, dengar-dengar dia sudah mengumpulkan banyak prestasi di bidang Judo.

“Oh, pacar baru lagi,” cibir Ray pelan. Memang sedikit ironi, saat Ray dan Synne terkenal dengan kejombloan mereka yang mengenaskan, Serra malah mengencani berbagai jenis pria.

Serra mendengus sama pelannya pada Ray sebelum berlari menyongsong Dean dan menyergap pria itu dengan sebuah pelukan. Ia mengalungkan tangannya pada leher kekar Dean, mereka berciuman selama sedetik.

Oh, pemandangan yang tidak indah. Meski hal itu—bermesraan di depan umum—bukanlah barang baru bagi anak muda Inggris—semua orang melakukannya—tetap saja Synne harus memalingkan wajah setiap melihatnya. Pertama, karena ia ingat dengan adat ketimurannya. Kedua, hanya karena itu terlalu intim, dan ia terus merasa jijik terhadap itu semua.

“Aku tidak suka dengan Dean itu,” bisik Ray pelan.

“Sama.” Synne membalas sama pelannya.

Seolah sadar dengan pelototan tidak nyaman kedua sahabatnya, Serra buru-buru melepaskan tautan mereka, sebagai gantinya, ia menggandeng lengan Dean.

“Baiklah, aku duluan, ya. Semoga kalian bersenang-senang!”

Dan bahkan pasangan itu melenggang pergi sebelum melihat apakah orang yang ditinggalkan merestui atau tidak. Mabuk kepayang. Uh!

“Ngomong-ngomong, kita jadi makan, kan, Ray? Sepertinya cacing di perutku mulai berdemonstrasi—Ray?”

Pria itu tidak mendengar, meskipun Synne menyikutnya. Synne bahkan berani bertaruh Ray sedang berusaha untuk tidak berkedip. Dan Synne hafal di luar kepala alasannya. Ia mengikuti arah pandang Ray dan segera menemukan gadis itu.

Summer Julie Blackwood. Gadis tinggi dan kurus, dengan wajah tirus dan rambut kaku yang terlihat agar menyeramkan, terutama karena tatapan dinginnya,. Gadis itu tengah berjalan lurus melintasi mereka sambil mendekap buku-buku tebal di tangannya dengan wajah fokus menghitung setiap langkahnya—setidaknya kelihatan begitu, ia terus menunduk. Oke, Synne juga pemalu dan cenderung menunduk ketika berjalan, tapi ia tidak merasa separah itu. Setidaknya ia bisa bercakap dengan cukup wajar dengan orang lain jika semangatnya sedang cukup bagus, dan ia masih mempunyai teman. Tapi gadis itu, menatap horor pada semua orang dibalik rambut hitam lurusnya, seperti tokoh Sadako di film hantu Jepang. Dan dapat dipastikan, gadis itu hanya mampu bertahan hidup di perpustakaaan dan toilet, atau tempat sepi, dan bersahabat karib dengan kitab-kita kalkulus—semacamnya, yang jelas buku-buku tebal. Aneh saja tidak akan cukup untuk mendeskripsikannya. Namanya saja yang Summer, kelakuannya benar-benar seperti batu es dari kutub utara.

Kalau ada yang lebih aneh dari itu, mungkin dia adalah Raymond Ayers, pria ajaib yang menggilainya setengah mati. Tidak, bukan setengah, tiga perempat, mungkin.

Sebelum sempat Synne menginterupsi, pria itu seolah memiliki refleks tersendiri dalam tubuhnya untuk segera mengejar Summer bahkan sebelum otaknya berhasil mencerna apa yang terjadi. Dalam sekejap saja, si keriting-pirang-agak-sinting, Ray, sudah berdiri memblokir jalan gadis itu.

“Hei,” sapanya dalam suara parau karena gugup.

Summer hanya diam tidak menjawab, seperti diperkirakan. Namun matanya mendelik sedikit, tanda bahwa ia memperhatikan kehadiran Ray, ia melirik pria itu sesekali di bawah bulu matanya yang tipis, bergantian dengan betapa perhatiannya ia dengan ujung sepatunya.

“Kau… mau kemana?”

Masih tidak ada jawaban. Synne berani bersumpah bahwa itu adalah pertanyaan yang keterlaluan bodoh. Bahkan seluruh Greenwich juga sudah tahu kalau gadis itu hanya mungkin berada di dua tempat; kelas dan perpustakaan. Karena ia mengambil arah barat, dipastikan ia akan ke perpustakaan.

“Aku… aku hanya ingin mengatakan kalau… swetermu tampak bagus hari ini. Kau terlihat lebih cantik.”

Sebagai sahabat Ray, Synne meringis. Baju itu memang jarang dipakai, tampaknya, tapi Synne yakin pernah melihat sebelumnya, jadi itu bukan sweter baru lagi. Kenapa ia baru membahasnya sekarang? Ah ya, karena Ray memang akan selalu kehabisan topik jika mencoba mengajak bicara si patung berjalan itu. Di luar saja Ray tampak ahli dalam masalah percintaan, mengira dirinya titisan Dewa Amor karena anak-anak idiot yang sedang kasmaran itu mendatanginya untuk meminta nasehat. Kenyataannya, Ray bahkan tampak begitu memalukan jika dihadapkan pada seorang Summer.

Sama saja dengan dirinya setiap berada dalam radius sepuluh meter dari Shin Yonghwa, prianya. Cinta itu kedengaran payah.

Ray tampak menggaruk kupingnya. Dan Summer diam, masih mendelik dingin. Astaga, gadis itu benar-benar tampak mengerikan. Dia benar-benar Sadako versi nyata! Kemudian, Synne dapat merasakan atmosfer gelap di sekitarnya berangsur-angsur berlalu setelah Summer melangkah pergi, masih tanpa mengatakan apa-apa pada Ray. Synne melihat Ray tertunduk masam sepeninggal gadis itu. Seperti biasanya, penolakan ke sekian ribu itu masih berhasil membuatnya patah hati. Tapi Synne tahu, pria itu akan jatuh cinta lagi setiap melihat gadis itu melintas. Semudah itu.

“Lihat. Kau jelas-jelas ditolak.” Synne menepuk pundak pria itu.

“Tidak. Kau tidak tahu saja, Synne. Dia hanya perlu waktu.”

Oh, my goodness. Apa kau tidak melihat?”

“Apa?”

“Cincin. Ada cincin di jari manisnya.”

***

“Aku ingin melihatnya. Sungguh.” Pria itu menggeram rendah, berusaha menekan dalam-dalam keinginannya untuk berteriak dan memberontak. Dimitri berdiri di belakangnya, mengunci kedua tangan pria itu di belakang punggung dan berjanji tidak akan membiarkannya kabur dengan mudah.

“Kalau begitu kendalikan dirimu dan turuti perintahku,” ancam Dimitri dalam nada tajam.

“Tahan napasmu, Max. Jangan pernah bertindak gegabah.”

Ia akhirnya membiarkan Max mengambil beberapa langkah lebih dekat. Mereka sedang berada di salah satu sudut universitas yang paling minim tercium napas manusia; perpustakaan.

Summer, gadis itu sedang konsentrasi membaca di salah satu sudut. Sendirian, seperti biasanya. Menyingkir dari anak-anak lainnya yang sebenarnya berjumlah tidak seberapa. Seharusnya tidak ada yang bisa ia khawatirkan di perpustakaan, semua penghuninya hampir sama, anak-anak kutu buku yang tidak akan tega bahkan untuk membunuh lalat sekalipun. Namun tetap saja, Summer masih menganggap mereka semua patut dihindari. Sementara Max dan Dimitri berdiri di sudut lain, mengawasi gadis itu di balik pajangan rak buku tebal dan tua.

“Tahan napasmu, Max. Atau kau akan kehilangan kendali,” bisiknya lagi.

Dimitri sendiri sudah terbiasa dengan semua aroma ini. Aroma sedap manusia, seperti daging bakar di pemanggangan. Detak jantung mereka… aliran darah mereka… terasa hangat dan terlalu menggiurkan. Semakin besar denyut jantung mereka, semakin itu tampak mengundang. Seluruh baunya hampir sama saja, hanya berbeda sedikit, seperti perbedaan daging sapi dan daging babi. Tetap saja, semuanya adalah makanan. Dan kau haruslah sangat-sangat waras untuk membuat dirimu tidak kalap memakan mereka saat ini juga. Ini terlalu menggoda untuk diabaikan, semua aroma itu membuatmu lapar bahkan jika kau berniat untuk diet.

Max melangkah maju, sangat pelan. Seolah ia tidak ingin penglihatannya pada gadis itu berguncang karena gerakan tubuhnya sendiri. Sementara Dimitri mengambil sebuah buku paling tebal dengan kertas yang sudah menguning dan sampul terkelupas. Ia tidak berniat membacanya, hanya pura-pura. Supaya petugas penjaga perpustakaan, seorang wanita gendut dengan dagu runcing dan tampang galak yang setia mengawasi setiap orang tidak melirik sekali lagi kepadanya. Pada kenyataannya, sudut matanya masih dapat diandalkan untuk mengawasi Max.

Semuanya baik-baik saja, awalnya. Suara-suara mereka yang berbisik-bisik namun terdengar begitu ribut di telinga Dimitri, bahkan ia masih bisa mendengar percakapan mereka yang berada dalam radius hingga seratus lima puluh meter di sekitarnya. Bau mereka, Dimitri sudah hafal, dan ia nyaris mengindahkannya, ia tahu kapan waktu untuk bebruru, kapan untuk istirahat. Semuanya normal. Sampai satu aroma lain memasuki indera penciumannya dan ia nyaris tersedak oleh aroma itu.

Aroma jantung yang hangat, bercampur wangi lilac dari rambutnya. Aroma itu pekat, dan entah bagaimana… terasa familiar. Dimitri bisa mengira aroma itu berada semakin dekat di depannya, hanya terpaut beberapa langkah. Lalu ia mengangkat wajahnya, dan menemukan dia. Dia adalah seorang gadis mungil dengan sweter kebesaran dan jins kusam. Rambutnya cokelat gelap yang dikuncir asal-asalan, masih lembab dan beraroma kuat lilac.

“Dasar keras kepala! Apa kau tidak punya urat malu, huh? Kau ditolak untuk ke sekian ratus ribu kali sudah,” cibirnya.

“Hei! Kau itu temanku atau bukan, sih?!” jawab pria di sampingnya.

Dimitri menemukan dirinya terpaku mendengarkan gadis itu, suara kekanak-kanakkannya, juga tampak sampingnya. Semua itu tidak asing. Kemudian, seolah sadar sedang diperhatikan, gadis itu menoleh tepat ke arah Dimitri. Untuk sepersekian detik tatapan mereka saling mengunci. Untuk sepersekian detik itu juga Dimitri merasa… ada yang salah. Mendadak semua kemampuannya untuk mendengar, mencium, dan melihat dengan tajam menghilang; ia hanya bisa menemukan gadis itu. Tidak, ini bukan hal semacam jatuh cinta atau bagaimana. Hanya… menatap gadis itu membuatnya tidak bisa mempercayai apa yang sedang terjadi. Gadis itu… tidak asing. Dan sekelebat ingatan menghantamnya seperti hujan ribuan jarum secara tiba-tiba.

Flashback

Chita, Russia.

“Katya Astyafyeva! Anak nakal! Kembali dan bersihkan rumah!”

Dimitri terbangun dari istirahatnya mendengar teriakan itu. Betapa menyebalkannya. Suara seorang wanita setengah baya, ia yakin tadi, padahal berjarak tidak dekat, tapi suaranya memekakkan telinga. Dimitri harus mengutuk kemampuan pendengarannya yang puluhan kali lebih baik dari milik manusia, dan mengutuk makluk berjenis wanita itu. Dimana-mana mereka sama saja, begitu berisik.

Dimitri menegakkan tubuh dan berdiri di bawah matahari musim dingin yang lemah. Matahari musim dingin, ia masih bisa menahannya sehingga tidak perlu repot-repot menyembunyikan diri seperti halnya saat datang musim panas. Ia bukannya vampire yang akan mati terbakar jika berada di bawah sinar matahari. Tapi tetap saja, terik itu terasa seperti menghanguskannya, ia tidak menyukai rasa panas itu. Kulitnya agak sensitif soal cahaya. Ia menatap lurus ke arah dimana suara melengking tadi berasal. Dari sebuah rumah sederhana, kasta rakyat biasa, golongan pedagang, kira-kira. Dan ia melihat seorang gadis berlari keluar, mengangkat gaunnya hingga batas lutut agar ia bisa berlari lebih bebas. Itu… aneh. Dimitri mengernyit. Seorang gadis tidak seharusnya mengangkat gaunnya setinggi itu. Tidak seharusnya ia berlari seperti pencuri. Tidak seharusnya juga ia diteriaki dengan begitu ganas. Di jaman itu, seharusnya gadis-gadis dari golongan mereka tinggal di rumah, memasak dan bersih-bersih. Bukannya… bukannya lari keluar rumah demi salju.

Yah. Salju. Sekarang Dimitri mengerti alasan gadis itu kabur. Salju mulai turun, dan gadis itu tampak gembira. Ia berlari sejauh yang ia bisa dari rumahnya, baru berhenti di sebuah tanah lapang tertutup salju, dipagari pepohonan cemara, gadis itu berputar-putar riang di atas tumitnya dan menangkap salju dengan kedua telapak tangannya yang telanjang tanpa sarung.

Dimitri mendengus. Seperti anak kecil. Padahal dari aromanya, Dimitri bisa memperkirakan bahwa gadis itu telah berada di ujung masa remajanya, sembilan belas tahun, sekitar itu. Ia seharusnya sudah cukup dewasa meski tubuhnya agak lebih kecil dari seharusnya.

Dimitri merasakan kakinya, juga matanya tidak bisa beranjak dari sosok itu. dari rambut gelapnya yang ikal, kulit putihnya yang aneh—kulitnya agak kekuningan seperti orang Asia, tidak seperti orang Russia pada umumnya—bibirnya ketika tersenyum, matanya yang berwarna cokelat gelap… ia cantik. Ia mendengar denyut jantung gadis itu, membaui aromanya yang pekat ditengah-tengah salju. Ia masih memiliki keinginan kuat untuk mencicipi jantung gadis itu, perasaan laparnya bangkit bergejolak. Tapi ia menemukan dirinya tidak bisa erbuat apa-apa, bahkan sekedar untuk bergerak. Ia hanya menatap gadis itu dari kejauhan, dan tahu… ia akan datang lagi ke sini esok hari untuk menemukan gadis itu lagi.

Untuk pertama kalinya, Dimitri merasa memiliki sebuah jantung yang hidup dan berdetak kencang di balik rusuknya. Meski kenyataannya tidak.

Dan sekarang, kembali kepada waktu dimana saat ini ia berada, kembali ke tujuh ratus tahun setelahnya, perasaan itu kembali memborbardirnya. Di waktu yang berbeda, kota berbeda, gadis berbeda, namun ada sesuatu padanya yang terasa begitu familiar, Dimitri merasa yakin. Mata cokelatnya yang mirip—ah, persis milik Katya, caranya menatap, caranya tersenyum, suaranya… seolah Katya dilahirkan kembali dalam wujud gadis itu. Katya, gadis yang pernah membuat seluruh tubuhnya merasa aneh. Sekarang, entah bagaimana melihat gadis ini—meski bukan untuk pertama kali, meski ia sudah melihatnya sebelumnya—membuatnya selalu merasa aneh.

Tepat saat bersamaan, sebelum Dimitri berhasil benar-benar pulih dari kenangan-kenangan yang menyerangnya, dengan sudut mata ia menangkap gerakan cepat Max. Rupanya, pria yang datang bersama gadis itu—Ray—berada dalam jarak terlalu dekat, melebihi yang bisa ditolerir Max. Dia baru. Dan penciuman tentang jantung yang berdegup begitu kencangnya membuyarkan semua konsentrasi Max, ia kehilangan pikirannya tentang Summer dan mengikuti insting membunuhnya. Ia menyerang pria itu.

Kejadiannya begitu cepat bahkan untuk masuk dalam hitungan detik. Dimitri, dengan pergerakan yang jelas lebih terlatih, berhasil menghentikan pria itu tepat di detik terakhir, saat jemari Max sudah berubah runcing dan hampir menyentuh dada Ray. Ia menangkap kedua pergelangan Max dengan kuat dan memelintirnya ke belakang. Lalu, tatapannya terhenti pada mata gadis itu. Gadis itu, sekarang ia melihatnya dalam jarak dekat. Perasaan itu memabukkan, dan itu harusnya sudah cukup, ia tidak boleh terlibat lebih banyak. Secepatnya, sebelum siapapun sempat mengerjapkan mata, ia sudah membawa Max lari bersamanya, melompat melalui jendela besar di perpustakaan yang berada di lantai tiga itu.

Ketika semua orang sadar, mereka hanya bisa merasa kaget. Semuanya akan berpendapat sama; mereka akan merasa mendengar bunyi berisik yang keras namun sangat singkat, merasa ada angin aneh di sekitar mereka, dan angin yang tersisa di sekitar jendela perpustakaan. Tidak seorang pun akan berpikir dua orang pria telah melompat dari sana, lagipula itu memang tidak mungkin.

Ray meringis, merasakan perih di dadanya. Ketika ia memeriksa, ia menemukan ada tiga robekan kecil di kemejanya, ada gores kecil di dadanya. Dan ia tidak punya alasan kenapa.

“Synne, aku merasa sesuatu yang aneh telah terjadi di sini tadi…” Ia menoleh pada Synne, menemukan gadis itu menatap jendela dengan ekspresi kosong. “Synne?”

Synne tidak mendengar. Barusaja… barusaja ia merasa sepasang mata biru ke-abuan telah menatapnya tadi, dan aroma dingin musim dingin terdingin tertinggal di indera penciumannya. Entah bagaimana ia merasa, dan yakin, ada seseorang tadi, dan orang itu tidak terasa benar-benar asing.

***

 

 

 

***

 

As promised, here they are, visuals…

Oh iya perkenalkan, Ini Dimitri => alexey alex

 

Ini Synne => 10170693_1434171146841972_4650179823738314707_n  1977402_1415390232053397_1189096487_n

 

Dan ini jelas Yonghwa dengan mata kalemnya… => 1549338_685415071499387_1502968928_n

 

Minta pendapat kalian ya, soal ceritanya, saran2nya, tentang visualnya jg boleh *lg jatuh cinta sama visual ceritanya*

Posted in Fanfiction, Fantasy, KyuMin couple, Romance, The Dawn, WonSoo couple

[10th] DAWN – Final Chapter

dawn10

 

Normal’s POV

Yeon Min menyipitkan matanya sedikit saat mengamati sosok itu, menyesuaikan dengan jumlah cahaya yang berebut masuk melalui retina matanya.

“Selamat datang, Min,” kata pria itu. Yah, pria dengan sosok cukup tinggi itu, dan yang pasti karisma menakutkan.

Sayap pria itu tidak pernah tertutup, hanya mengepak lambat. Yeon Min sedang memperhatikannya seksama, bagaimana tekstur sayap itu tampak keras seperti ribuan bilah pisau berwarna segelap malam yang disatukan. Ia memperhatikannya berusaha tanpa kedip. Dan ketika untuk satu waktu berikutnya ia tak bisa menahan matanya untuk terpejam selama sepersekiandetik, saat itulah ia merasakan lesatan cepat. Sosok itu seolah bergerak, dan saat ia dapat menyadarinya, ia memang sudah menghilang.

Yeon Min mengerjap-ngerjap sekali lagi, sekali ini untuk memperbaiki fokusnya. Sosok itu memang benar-benar lenyap tanpa bekas, seperti tak pernah ada. Namun keberadaan Ar-Leith yang masih berdiri kaku di atas ranting pohon besar di depannya sudah lebih dari cukup untuk menyatakan keeksikan makhluk tadi. Yeon Min melirik waspada, menemukan kemunculan makluk lainnya lagi tak jauh dari tempat ia duduk, makhluk yang tak kalah membuatnya merasa bisa mati ketakutan. Continue reading “[10th] DAWN – Final Chapter”

Posted in Fanfiction, Fantasy, KyuMin couple, Romance, The Dawn, WonSoo couple

[9th] DAWN

the-dawn

 

Kyuhyun’s POV

“Hanya seorang pelajar SMA, bekerja part time di sebuah restoran cepat saji. Setidaknya begitulah untuk saat ini. Annyeong, Lee Jonghyun imnida~”

Pria itu tersenyum kaku. Senyum yang masih bertahan, namun seperti tidak punya arti selain basa-basi. Senyum janggal yang ia perlihatkan dengan terlalu dipaksakan sementara aku memelototinya dengan tatap terdinginku, memposisikan ia sebagai lawan yang harus kulenyapkan segera. Hanya… karena aku tidak suka caranya menatap Yeon Min, milikku.

Aku terus mengawasinya sambil mengacak-acak isi pikiranku, mencoba mencari tahu dalam memoriku tentang siapa sebenarnya dia, kenapa dia bisa berkamuflase semudah itu?! Dan hasilnya nihil. Memoriku —yang tentu saja tidak bisa diremehkan, aku berani menjamin bahwa aku memiliki otak yang lebih briliant dari manusia paling jenius sekalipun, Einsten contohnya, hanya saja aku tidak sekurang kerjaan dia yang repot-repot menghabiskan hidup untuk menghitung kecepatan cahaya— tetap tidak bisa menemukannya di bagian manapun dari ingatan hebatku. Kesimpulannya, aku benar-benar tidak mengenalnya.

“Jadi kau?” Continue reading “[9th] DAWN”

Posted in Fanfiction, Fantasy, KyuMin couple, Romance, The Dawn, WonSoo couple

[8th] DAWN

naya

Author’s POV

“Tunggu, Kyu…”

Yeon Min memegang dadanya yang terasa penuh. Letih tentu saja. Bercak-bercak jingga di langit timur sudah merupakan indikasi akurat bahwa mereka telah semalaman seperti ini. Berpindah-pindah. Sedari tadi, di antara kegelapan, yang bisa Yeon Min lihat hanya gelap yang makin parah. Kyuhyun dengan mudahnya membopong tubuhnya dan membawanya melesat semakin jauh ke dalam hutan. Pohon-pohon itu berpola. Semakin besar dan mengerikan mereka, —rimbun berlebih sampai-sampai menghalangi cahaya bulan yang masuk dan menyebabkan tempat itu lembab berlumut, menandakan semakin jauh juga dua makluk ini sudah terperosok. Di tambah lolongan anjing hutan dalam jarak tidak bisa di katakan begitu jauh, serta sahutan binatang liar hutan lainnya, tempat itu tanpa berpikir bisa di katakan menyeramkan.

“Aku lelah, Kyu…,” gumamnya pelan, seperti hanya ditujukan pada diri sendiri tapi tak ayal membuat Kyuhyun menghentikan lompatannya dari pohon ke pohon dengan segera.

“Baiklah, kita istirahat dulu.”

Tanpa menunggu komentar, pria itu telah berduduk di atas sebuah dahan besar dan memposisikan Yeon Min untuk berbaring di pangkuannya. Continue reading “[8th] DAWN”